Beranda Artikel Kepastian Hukum untuk Menjamin Iklim Investasi Minerba

Kepastian Hukum untuk Menjamin Iklim Investasi Minerba

1589
0
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey sedang memaparkan potensi dan problema industri nikel di Indonesia saat menjadi narasumber di Indonesia Mining Forum, Rabu (13/4/2022)
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey sedang memaparkan potensi dan problema industri nikel di Indonesia saat menjadi narasumber di Indonesia Mining Forum, Rabu (13/4/2022)

NIKEL.CO.ID, 13 April 2022-Kepastian hukum dan investasi pertambangan menjadi tema diskusi Indonesia Mining Forum dalam rangka memperingati HUT ke-17 Majalah Tambang yang dihelat di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (13/4/2022).

Narasumber diskusi Deputi Perencanaan Penanaman Modal BKPM, Nurul Ichwan, menyampaikan bahwa program investasi di sektor pertambangan yang digulirkan pemerintah setelah dilakukan kajian-kajian.

Pemerintah, di antaranya berangkat dari kondisi perekonomian di Indonesia. Ketika itu, pemerintah mencoba meraih pertumbuhan ekonomi antara 5,3% sampai dengan 5,9%. Tetapi, situasi yang berkembang saat ini kurang menguntungkan. Dari segi government expenditure, pemerintah menjaga minus APBN sekitar 3%. Artinya, dari sisi pengeluaran pemeritah, tidak bisa diharapkan untuk mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto (gross domestic product/GDP) secara signifikan.

Kemudian dari sisi konsumsi, juga dalam situasi seperti sekarang ini tidak bisa berharap terlalu banyak. Termasuk dari sisi ekspor, walaupun performanya cukup baik, jika dihitung berdasarkan GDP tidak sesuai dengan jumlah impor.

Karena itu, kata Nurul, berbagai upaya dan program harus direalisasikan. Intinya, bagaimana memaksimalkan keunggulan komparatif, terutama dari sisi sumber daya alam.

Maka, pemerintah menggulirkan program hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertambangan di Indonesia.

Ketika investasi dari luar dan dalam negeri mulai bertumbuh di sektor industri hilir, namun pelaku usaha pertambangan dikejutkan dengan banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut oleh pemerintah. Totalnya 2.078 IUP.

Nurul memahami, di tengah pemerintah ingin memaksimalkan komoditas pertambangan, di sisi lain ada problem ribuan IUP dinilai bermasalah, sehingga harus dicabut.

Salah satu penyebabnya, ungkap Nurul, konsensi sudah dipegang banyak pihak, namun tidak dipergunakan. Dari sini menjadi perhatian khusus pemerintah, sehingga izin-izin pertambangan yang tidak produktif dicabut pemerintah.

Hingga 2 Februari sampai 5 Maret Kementerian Investasi/BKPM telah mencabut 385 IUP mineral dan batu bara.

“Kementerian Investasi/BKPM hanya mengeksekusi mencabut IUP. Semua berdasarkan daftar yang direkomendasikan dari Kementerian ESDM,” kata Nurul.

Namun, perusahaan yang IUP-nya dicabut masih diberikan hak jawab oleh pemerintah. Mereka diberikan kesempatan mereview penyebab dicabutnya IUP.

Nurul mengutarakan, hingga saat ini sudah ada 14 perusahan yang dipanggil Tim Satgas di BKPM.

“Bisa jadi terjadi miss, kesalahan dari pemerintah. Saat ini sudah dipanggil 14 badan usaha pertambangan yang IUP-nya dicabut,” ungkapnya.

Nurul juga menyampaikan IUP-IUP yang dicabut nantinya akan dilelang kepada pihak-pihak yang mampu menjalankan dan mengoperasionalkannya. Terkait pihak-pihak penerima IUP, kata Nurul, sudah ada masukan dari berbagai pihak. Masukan tersebut didengar, dicacat, dan dianalisa Tim Satgas lintas kementerian untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Selanjutnya, Tim Satgas menunggu arahan dari Presiden.

Ia menambahkan, terkait pemaksimalan nikel kadar rendah atau limonit yang jumlahnya lebih banyak dari nikel kadar tinggi atau saprolite. Di tahun 2024 diperkirakan industri smelter membutuhkan nikel sekitar 250 juta ton per tahun.

Menurut data yang dikeluarkan Asosiasi Energi Internasional, jumlah kendaraan listrik pada 2020 sekitar 2 juta unit. Kemudian pada 2025 diperkirakan naik antara 300%-400%. Di tahun 2030 diperkirakan masih tumbuh 100 persen. Setelah tahun 2030, sudah masuk masa energi hidrogen.

Karena itu, Nurul menekankan, pemanfaatan nikel kadar rendah untuk bahan baku katoda baterai listrik harus dimaksimalkan hingga tahun 2030.

Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi, Tubagus Nugraha mengatakan, pemerintah memang sedang gencar-gencarnya menarik investasi untuk pembangunan sektor industri hilir.

Pemerintah banyak memberikan insentif, baik fiskal maupun non fiskal bagi investor. Program hilirisasi industri disasarkan di wilayah di luar Pulau Jawa.

Termasuk konsentrasi pembangunan industri atau smelter minerba di wilayah Indonesia timur.

“Dari 133 proyek pengolahan dan pemurnian mineral, sekitar 36,1 persen atau 48 pabrik sudah beroperasi,” kata Tubagus.

Saat ini, imbuhnya, Indonesia membutuhkan 400 ribu stainless steel per tahun. Sayangnya, untuk pemenuhan kebutuhan stainless steel, masih melalui impor.

Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa industri hulu dan hilir pertambangan nikel membutuhkan kepastian hukum untuk menjaga iklim investasi di Indonesia.

Disampaikan, sebelum ada pencabutan IUP, ada 328 IUP perusahaan nikel yang terdaftar di MODI Kementerian ESDM. Sekarang sebanyak 62 IUP perusahaan nikel sudah dicabut Kementerian Investasi/BKPM.

Meidy mempertanyakan mekanisme pencabutan IUP. Karena, ada perusahaan yang masih mendapat teguran dari Menteri ESDM, untuk dilakukan kelengkapan persyaratan pengajuan RKAB, namun IUP-nya sudah dicabut Menteri Investasi/Kepala BKPM.

Dirinya mempertanyakan keberadaan Keppres No.1 Tahun 2022 yang menjadi landasan Kementerian Investasi mencabut IUP. Padahal, kementerian teknis yang membidangi minerba adalah Kementerian ESDM sesuai UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Dalam Pasal 185 PP 96 Tahun 2021 juga ada peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan eksplorasi dan produksi, dan atau, sanksi pencabutan. Jadi, ada tahap-tahapan ketentuannya, sebelum akhirnya IUP dicabut,” kata Meidy.

Ia juga mempertanyakan, apakah pemerintah melihat secara menyeluruh kondisi perusahaan pertambangan yang dicabut izinnya. Karena, beberapa perusahaan sudah membayar PNBP, tapi ada juga yang masih terkendala IPPKH.

Selain itu, ada perusahaan yang sedang melakukan kegiatan eksplorasi, tapi tidak melakukan penjualan, karena masih menunggu perizinan RKAB.

Persoalan lain, sudah memiliki perjanjian kerja sama jaminan supply untuk pabrik. Terkendala perizinan pelabuhan, serta terkendala izin pembebasan lahan dengan masyarakat pemilik lahan.

Bicara kepastian hukum, Meidy juga menyinggung tentang peraturan perundangan tentang transaksi jual-beli bijih nikel yang harusnya berdasarkan FOB, namun pihak smelter menerapkan sistem CIF. Akibatnya, pelaku hulu harus menanggung biaya pengiriman tongkang antara 6-12 dolar AS di pelabuhan bongkar. Belum lagi persoalan pembelian bijih nikel tidak sesuai Harga Patokan Mineral (HPM).

“Karena itu, APNI meminta Tim Satgas HPM memaksimalkan kinerjanya untuk melihat permasalahan tata niaga nikel di lapangan,” pinta Meidy. (Syarif)