
NIKEL.CO.ID, 29 Maret 2022-Praktisi Hukum bidang Pertambangan, Al Ghozali Hide Wulakada, menilai kebijakan larangan ekspor nikel kadar rendah menyangkut tiga aspek hukum. Apa saja?
Terhitung 1 Januari 2020 bijih nikel kadar di bawah 1,7% tidak diperbolehkan oleh Pemerintah Indonesia untuk ekspor. Menurut Dirjen Mineral dan Batubara, Kementeria ESDM, Bambang Gatot Ariyono ketika itu, kebijakan ini dikeluarkan pemerintah agar perkembangan pembangunan smelter, khususnya nikel dapat berjalan lebih cepat.
Di mata praktisi hukum bidang pertambangan, Al Ghozali Hide Wulakada, melihat pemerintah juga harus konsisten terhadap ketentuan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 102 menyatakan bahwa pemilik IUP wajib melakukan penambangan, pengelolaan, dan pemurnian. Kemudian di Pasal 103 menegaskan bahwa pemurnian itu wajib dilakukan di dalam negeri.
“Ketentuan itu diperkuat melalui Peraturan Pemerintah yang secara teknis pelaksanaannya tertuang dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan PP Nomor 23 Tahun 2010. Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa pemilik IUP wajib melakukan pemurnian di dalam negeri,” kata Ghozali kepada Nikel.co.id, baru-baru ini.
Masalahnya, ungkapnya, untuk membangun smelter pemurnian nikel kadar rendah biayanya besar, di atas belasan triliun rupiah. Biaya sebesar ini tentu tidak bisa dihandle sendiri oleh negara, dalam hal ini BUMN. Maka, harus ada kerja sama dengan kalangan swasta baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurutnya, kebijakan larangan ekspor nikel kadar rendah sebagai bentuk konsistensi pemerintah untuk membatasi cadangan nikel di dalam negeri ada dasar hukumnya.
“Jika ada yang membuat masalah dengan berbagai alasan mengirim bijih nikel kadar rendah, maka pelakunya sudah tentu melanggar ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.
Ia menyebutkan semangat hukum pertambangan di Indonesia ada tiga. Pertama, perhatian khusus terhadap keselamatan lingkungan hidup. Kedua, perhatian khusus terhadap kesejahteraan rakyat yang di dalamnya ada kedaulatan negara. Ketiga, perhatian khusus terhadap investasi.
Dipaparkan, terkait aspek keselamatan lingkungan hidup, manusia dengan segala bisnis dan investasinya bergantung kepada lingkungan hidup. Masa depan dunia pun bergantung kepada lingkungan hidup. Jika kita bersama-sama menjaga lingkungan hidup, maka peradaban manusia akan terus berkembang, dan tersedia alam baginya.
“Karena itu, politik hukum perkembangan lingkungan hidup harus dikedepankan dalam konteks kegiatan pertambangan. Mulai dari penambangan, pengelolaan, hingga pemurnian,” jelasnya.
Kedua, soal kesejahteraan rakyat. Perhatian kesejahteraan rakyat itu mulai dari kesempatan kerja, dengan mendahulukan kebutuhan tenaga kerja dari dalam negeri. Jika belakangan tenaga kerja dari dalam negeri tidak mampu menangani bidang tertentu, itu persoalan lain.
“Jika ada menteri mengatakan tenaga kerja dalam negeri tidak mampu menghandle kapasitas dan ketentuan untuk kegiatan produksi, maka pemerintah harus mendatangkan tenaga kerja asing, dengan mengeyampingkan tenaga dari dalam negeri. Itu alasan-alasan yang menurut saya cacat kebijakan dan cacat dalam berpikir,” paparnya.
Justru, Ghozali menekankan, karena Indonesia kekurangan kapasitas, baik kompetensi maupun integritas, maka dijadikan prioritas membuka sekolah-sekolah atau perguruan tinggi ilmu pertambangan dilengkapi fasilitas laboratorium di Indonesia. Sehingga pemerintah bisa menjemput kapasitas tenaga kerja untuk bidang tertentu yang dibutuhkan di pertambangan.
“Jika rakyat Indonesia tidak diberi kesempatakan kerja, tidak akan ada kesejahteraan,” imbuhnya.
Ketiga, lanjutnya, politik hukum investasi pertambangan di Indonesia, sesungguhnya mengikuti dua prinsip menjaga lingkungan hidup dan prinsip kesejahteraan rakyat.
Ia menambahkan, pemerintah dalam membuat regulasi, termasuk ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 semangatnya karena prinsip-prinsip di atas. Kebijakan memaksimalkan nikel kadar rendah melalui proses pengolahan di pabrik atau smelter di dalam negeri, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Diungkapkan, tantangan bagi pengusaha adalah untuk merencanakan dan memulai dalam waktu secepat mungkin, sehingga target ekspor produk olahan nikel di 2022 bisa terwujud.
“Jika kita melihat data permintaan luar negeri terhadap nikel kadar rendah hampir 50% sebagian besar ada di Indonesia. Namun, smelter tidak siap, maka target pemerintah di 2021 sebesar 1 juta ton, dan sekarang naik 10%, kemungkinan kecil bisa tercapai,” tuturnya.
Karena itu, jika dari sekarang pemerintah tidak segera berkoordinasi secara pasti dalam merencanakan pengadaan atau pembangunan smelter khusus nikel kadar rendah, Ghozali memperkirakan target itu baru bisa dicapai di akhir tahun 2022. (Herkis/Syarif)