General Manager PT Anindya Wiraputra Konsult, Monang Pasaribu. Foto: Nikel.co.id
NIKEL.CO.ID, 18 Januari 2022-Pemerintah telah mengatur tata niaga nikel melalui Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara. Permen ESDM ini mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) logam menjadi acuan harga penjualan bijih nikel bagi penambang ke perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel (smelter) di dalam negeri.
Meskipun sudah ada ketentuan HPM, untuk menghindari perselisihan harga jual-beli bijih nikel antara penambang dan perusahaan smelter, kedua belah pihak diharuskan oleh pemerintah menggunakan jasa perusahaan surveyor yang sudah terdaftar di Kementerian ESDM dan memiliki Surat Izin Usaha Jasa Surveyor (SIUJS). Surveyor bertugas memverifikasi analisa kuantitas dan kualitas penjualan minerba.
Hanya saja, kadang di lapangan masih ada anggapan dari penambang nikel peran surveyor lebih memihak perusahaan smelter. Hal itu terjadi lantaran adanya perbedaan hitungan kandungan nikel di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar.
Keluhan penambang sampai juga ke ruang kerja Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan Hidup. Tak ingin berlarut-larut Komisi VII DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas penyelesaian polemik perbedaan hitungan kadar nikel yang dinilai merugikan pengusaha dalam negeri.
“Yang kami ketahui, smelter nikel melakukan perhitungan berbeda dengan surveyor yang ada atau berbeda bahkan bisa di bawah Ni 1,8% atau mencapai Ni 1,5%. Padahal sebelumnya setelah dilakukan hitungan kadar oleh surveyor sudah sesuai dengan kadar Ni 1,8%,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno.
Maka dari itu, hasil Panja Komisi VII merekomendasikan supaya ada penataan surveyor untuk bisa melaksanakan tugasnya secara konsekuen. Bahkan dalam temuan Panja ada surveyor yang belum tersertifikasi.
Surveyor sedang mengambil sample bijih nikel untuk diverifikasi analisa kuantitas dan kualitas bijih nikel
General Manager PT Anindya Wiraputra Konsult, Monang Pasaribu mengakui hingga saat ini trend pembelian nikel masih didominasi kelas medium grade. Yaitu untuk bijih nikel di kadar 1,8% hingga 2,3%. Karena, mayoritas smelter masih menggunakan teknologi pirometalurgy untuk mengolah bijih nikel menjadi produk lanjutan seperti nikel pig iron (NPI), feronikel, dan nikel matte.
Anindya Wiraputra Konsult merupakan salah satu dari enam perusahaan surveyor yang sudah terdaftar di Kementerian ESDM dan memiliki SIUJS dari Kementerian Perdagangan. Anindya juga sudah mendapatkan SK dari Kementerian Perdagangan RI sebagai perusahaan verifikasi ekspor komoditas minerba dan verifikasi komoditas impor beberapa jenis produk.
Monang mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis nikel dalam melakukan sampling yang benar. Karena komoditas nikel mempunyai quality variasi cukup tinggi.
“Saat kita melakukan sampling di titik ini dengan di titik lain, varian material itu secara kualitas bisa sangat besar. Artinya, apabila kaidah sampling tidak dilakukan secara benar, maka bisa dipastikan hasil yang didapatkan tidak akurat,” jelas Monang.
Kemudian, lanjutnya, dari sisi material nikel ore. Banyak ditemukan material lain seperti batuan dengan ukuran besar, hal ini bisa mengakibatkan hasil sampling yang satu dengan yang lain terjadi variasi cukup tinggi.
Monang menekankan, “Ketika pekerjaan itu dilakukan sesuai kaidah, hasil yang didapatkan akan bisa menghasilkan data yang tidak jauh berbeda. Kalau ditanya bedanya di mana? Jawabnya, bagaimana mereka melakukan sampling sesuai standar yang sudah ditetapkan.”
Ia mencontohkan untuk sampling stockpile. Disarankan sampling dilakukan pada waktu material secara bergerak. Dalam stockpile sampling, surveyor akan mengambil contoh material dari permukaan tumpukan nikel ore. Sehingga apabila kualitas material yang ada di permukaan dan di bagian dalam stockpile berbeda, maka hasil pemeriksaan akan menghasilkan data yang berbeda dengan keadaan kualitas sebenarnya.
“Maka, untuk menghasilkan hasil sampling yang baik dilakukan saat material itu bergerak,” kata Monang.
Empat Faktor Kesalahan Hasil Sampling
Menurut Monang, hasil sampling dipengaruhi paling tidak oleh empat faktor, yaitu saat dilakukan sampling, preparasi, analisa, dan petugas pengambil contoh (surveyor).
Disebutkan, hasil sampling bisa menyumbang sekitar 70% kesalahan. Jika samplingnya sudah salah, maka hasil akhirnya bisa salah. Sedangkan preparasi bisa menyumbang 20%-25% kesalahan.
Kemudian analisa, faktor ini biasanya menyumbang 5%-10 % dari kesalahan. Sementara faktor tenaga kerja (Petugas Pengambil Contoh/PPC), bisa menyumbang kesalahan cukup besar apabila dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten.
Di Anindya, jelasnya, secara berkala dilakukan sertifikasi PPC yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa setiap PPC yang melakukan pengambilan contoh adalah personal yang kompeten.
Perusahaan surveyor ini sangat ketat menjaga integritas, sehingga setiap pegawai harus menandatangani pakta integritas. Apabila dari hasil investigasi didapati kesalahan yang dilakukan oleh karyawan, maka perusahaan akan segera melakukan tindakan disiplin sampai dengan pemberhentian karyawan (Syarif)