NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Stigma dirty nickel alias operasional industri yang kotor masih membayangi hilirisasi nikel di Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya kekhawatiran atas dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan yang dapat merusak.
Chairman of Indonesia Mining Institute (IMI), Prof. Irwandy Arif, pun mendorong untuk industri di Indonesia memperbaiki tata kelola industri nikel menuju sustainable growth agar terlepas dari stigma dirty nickel.

Menurut Prof. Irwandy, penerapan good mining practice (GMP) merupakan salah saru syarat yang tidak bisa lagi dinegosiasi guna menyangkal stigma dirty nickel. Praktik pertambangan yang berstandar baik melibatkan serangkaian tahapan yang terhubung satu sama lain dan tidak dapat ditawar, mulai dari tahap penyelidikan awal, penyusunan studi kelayakan, sampai dengan proses rehabilitasi pascatambang.
Setiap fase kegiatan pertambangan tersebut juga wajib memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, keselamatan kerja di area tambang, upaya konservasi sumber daya, serta pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) oleh pihak pengelola tambang.

“Sepertinya perusahaan menengah ke atas sebagian besar sudah menerapkan. Tetapi, harus dipertanyakan pertambangan menengah ke bawah atau yang kecil,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (21/11/2025).
Untuk mematahkan stigma nikel kotor tersebut pun tidak cukup hanya sampai di situ. Tata kelola pertambangan, penerapan prinsip lingkungan/environment, sosial/social, dan tata kelola/governance (ESG) juga dinilai menjadi kunci memenangkan kepercayaan pasar global.

“ESG ini satu-satunya senjata kita supaya diterima di pasar Eropa atau Amerika,” tegasnya.
Selain itu, ia pun mendorong pelaku usaha di Indonesia untuk memanfaatkan alat tambang rendah emisi.
“Penggunaan electric vehicle juga disebut bisa mengurangi biaya operasional tambang, bahkan bisa sampai 30%,” jelasnya. (Uyun)


























