
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Indonesia sudah mampu mencapai tahap kedua dalam proses industrialisasi nikel, yakni menghasilkan produk setengah jadi, seperti baja nirkarat (stainless steel), hot rolled coil (HRC), dan cold rolled coil (CLC). Karenanya, Indonesia harus berani melangkah ke tingkat ketiga hilirisasi, yaitu memproduksi produk akhir berbasis inovasi dan teknologi tinggi untuk benar-benar menjadi negara maju dan berdaya saing tinggi.
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus, mengatakan, nilai tambah sesungguhnya dari industri nikel tidak berhenti pada pembuatan logam dasar, tetapi pada penciptaan produk akhir yang memiliki nilai ekonomi berlipat ganda.
“Kalau sudah ke final product, seperti baja nirkarat, alat kesehatan, dan alat rumah tangga, nilainya bisa ribuan kali lipat dari bahan bakunya. Bayangkan, satu produk jarum dari stainless steel bisa mencapai harga ratusan ribu rupiah, padahal bahan dasarnya hanya beberapa ons,” katanya, di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Ia menjelaskan, pada 2014 dirinya sempat menawarkan kerja sama kepada kalangan akademisi teknik di Bandung untuk mengembangkan produk inovatif berbasis stainless steel Indonesia, namun inisiatif tersebut belum terwujud hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih terjebak dalam pola pikir sebagai pengguna teknologi, bukan pencipta teknologi.
“Kita jangan terus belajar menggunakan, kita harus belajar menciptakan begitu juga produk untuk nikel. Janganlah puas kalau sudah bisa menggunakan, mari kita sama-sama mencari inovasi produk sehingga teknologi driven income,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, eksploitasi sumber daya alam tanpa arah strategis berpotensi mengulang kesalahan masa lalu. Indonesia pernah dikenal sebagai raja kayu dan raja minyak, namun karena salah urus, kini justru menjadi pengimpor kedua komoditas tersebut.
“Sekarang kita dibilang raja nikel, 10 tahun lagi mungkin kita menjadi importir nikel terbesar,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia saat ini telah memiliki sekitar 220 smelter aktif, dengan kebutuhan bijih nikel mencapai lebih dari 200 juta ton per tahun. Namun, situasi ini dikhawatirkan dapat menguras cadangan nikel nasional dalam waktu singkat, apalagi harga bahan baku terus naik sementara harga produk hilir tidak mengalami peningkatan signifikan.
Ia menekankan bahwa masa depan industri nikel Indonesia bergantung pada kemampuan menciptakan inovasi dan teknologi baru, bukan sekadar membangun smelter dan memproduksi bahan mentah setengah jadi.
“Kita sudah cukup sampai tahap industrialisasi tingkat dua. Tantangan kita sekarang adalah naik ke tingkat tiga menciptakan produk akhir yang punya nilai tambah eksponensial. Marilah kita menjadi bangsa yang menghasilkan inovasi, bukan sekadar bangsa pengguna,” pungkasnya. (Uyun)

























