NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Industri pengolahan nikel Indonesia terus menunjukkan ekspansi signifikan di tengah berbagai tantangan global, termasuk tekanan harga dan perubahan komposisi pasar baterai kendaraan listrik dunia. Hingga tahun 2025, Indonesia diproyeksikan memegang hingga 67% dari total produksi nikel dunia dan berpotensi meningkat menjadi 75% pada 2027–2028.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, peningkatan kapasitas produksi tersebut didorong oleh masifnya pembangunan fasilitas pengolahan (smelter) di berbagai wilayah Indonesia.
“Total terdapat 173 proyek pengolahan nikel yang sedang berjalan, terdiri dari 134 fasilitas dengan teknologi pirometalurgi (rotary kiln electric furnace/RKEF) dan 39 fasilitas hidrometalurgi (high pressure acid leach/HPAL). Dari jumlah tersebut, 65 pabrik RKEF dan 12 pabrik HPAL telah beroperasi secara komersial, sementara sisanya masih dalam tahap konstruksi dan penyelesaian perizinan,” katanya dalam acara “Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Hilirisasi Industri Nikel di Indonesia”, melalui daring, Kamis (23/10/2025).
Saat ini, sektor nikel nasional juga tengah menghadapi dinamika pasar global, salah satunya akibat peningkatan penggunaan biodiesel B40 menuju B50, yang diperkirakan turut berpengaruh terhadap biaya produksi dan rantai pasok energi industri.
“B40 sudah mempengaruhi sekitar 5% peningkatan produktivitas (prosperity), tapi saat ini mau naik lagi dari B40 ke B50 ,” ujarnya.
Selain itu, dia menjelaskan, pada 2025 kapasitas produksi baterai berbasis nickel mangan cobalt (NMC) diperkirakan hanya mencapai 20% dari total kapasitas global, sedangkan 80% akan dikuasai oleh baterai jenis lithium ferro phosphate (LFP). Pergeseran ini menimbulkan tekanan terhadap permintaan nikel sulfat dan kobalt sulfat yang menjadi bahan utama baterai NMC.
Meski demikian, Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai pusat produksi bahan baku baterai dunia. Pada 2025, produksi mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat, dan kobalt sulfat dari sektor hilirisasi nasional diperkirakan mencapai 450 ribu ton.
Dengan dominasi hingga tiga perempat pasar nikel dunia dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia dihadapkan pada tugas strategis: menjaga stabilitas harga, memperkuat hilirisasi berkelanjutan, dan menyesuaikan arah investasi dengan tren global industri energi bersih. (Uyun)


























