NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Perusahaan investasi internasional menilai Indonesia masih menjadi tujuan utama pengembangan industri nikel dan mineral lainnya, khususnya untuk proyek hilirisasi. Meski sejumlah tantangan masih dihadapi, kestabilan regulasi, biaya produksi yang kompetitif, dan dukungan pemerintah disebut menjadi daya tarik utama.
CEO of Eramet Indonesia, Jerome Baudelet, mengatakan, Indonesia menawarkan kombinasi menarik antara peluang investasi dan dukungan kebijakan, terutama dalam proyek smelter dan pengolahan nikel.
“Sebagai perusahaan tambang, kami merancang untuk jangka panjang, jadi kami ingin regulasi yang stabil dan transparan,” ujarnya dalam acara Indonesia Green Mineral Investment Forum (IGMIF) 2025, di Kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta, Kamis (2/10).
Ia menilai persepsi negatif terhadap kerumitan investasi di Indonesia sering kali tidak sesuai fakta. Sebagai contoh, pengalaman perusahaannya yang berhasil mengembangkan proyek dari fase awal hingga mencapai nilai signifikan.
“Kami memulai perusahaan tambang dari nol hingga 32 juta dolar bersama mitra kami dan mendapat semua dukungan dari pemerintah untuk mencapai hasil ini,” katanya.
Menurutnya, Indonesia saat ini menjadi salah satu lokasi paling kompetitif di dunia untuk produksi nikel. Meski begitu, ia mencatat industri turunan, seperti kendaraan listrik, mixed hydroxide precipitate (MHP), dan nickel pig iron (NPI), tengah menghadapi tekanan akibat perlambatan pasar global, terutama sektor baterai kendaraan listrik.
“Jika Anda ingin mengembangkan proyek baru, tidak banyak pilihan selain melakukannya di sini. Industri nikel di Indonesia masih sangat kompetitif. Pasar baterai berkembang, tapi tidak sekuat yang diharapkan. Kapasitas yang ada saat ini masih terlalu besar dibanding permintaan,” tegasnya.
Dirinya juga melihat peluang besar bagi Indonesia untuk masuk lebih jauh dalam rantai pasok baterai, terutama pada produksi prekursor dan precursor cathode active material (PCAM).
“Beberapa studi menunjukkan bahwa memproduksi prekursor dan PCAM di Indonesia bisa sekompetitif China. Dan, bagi pasar Eropa dan Amerika Serikat kami menginginkan alternatif,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa keberlanjutan investasi hilirisasi memerlukan dukungan kebijakan yang tepat, terutama dari sisi fiskal dan insentif.
“Jika ingin membangun industri yang bertanggung jawab sampai ke industri baterai, Anda perlu dukungan pemerintah. Tanpa inisiatif itu, margin tidak cukup untuk mendorong investasi,” ujarnya.
Selain itu, Jerome menegaskan komitmen Eramet untuk menerapkan standar ESG internasional di seluruh operasi, termasuk di Indonesia.
“Ini adalah perjalanan. Tapi kita tidak punya pilihan. Pada akhirnya kita harus mencapai standar itu,” katanya seraya menambahkan bahwa penerapan ESG tidak boleh dipandang sebagai hambatan, melainkan peluang untuk memperkuat operasional perusahaan.
“Jika Anda memiliki standar keamanan, melindungi karyawan, dan menghormati lingkungan, operasi Anda akan berjalan lebih baik. Komunitas sekitar juga tidak akan menjadi sumber masalah,” tegasnya. (Uyun)