NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pengembangan industri pengolahan nikel laterit di Indonesia semakin strategis di tengah tingginya permintaan global terhadap logam kritis untuk kendaraan listrik (EV). Namun, pemilihan rute teknis pengolahan bijih nikel laterit—antara proses pirometalurgi dan hidrometalurgi—masih menjadi tantangan besar, terutama untuk bijih kualitas menengah.
Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, tengah menghadapi dilema dalam menentukan proses metalurgi terbaik untuk mengolah jenis bijih nikel laterit yang bervariasi: saprolit, limonit, dan bijih campuran. Dua teknologi utama—High Pressure Acid Leaching (HPAL) dan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF)—masing-masing memiliki keunggulan dan keterbatasan berdasarkan karakteristik bijih.
Menurut Korporasi Teknik ENFI Tiongkok, Sun Haikuo, yang dikenal sebagai salah satu pelopor teknologi pengolahan nikel laterit global, pemilihan rute teknis harus disesuaikan dengan kandungan nikel dan kobalt dalam bijih.
“Untuk laterit nikel limonit dengan kandungan nikel rendah dan kobalt tinggi, HPAL sangat cocok karena mampu mengekstraksi Ni dan Co secara efisien pada suhu tinggi, sementara bijih saprolit dengan kandungan nikel tinggi dan kobalt rendah lebih sesuai diolah menggunakan proses RKEF,” jelas tim ahli ENFI Sun dalam presentasi teknis terbaru mereka di acara Indonesia Critical Mineral (ICM) 2025, Pullman Hotel Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Korporasi Teknik ENFI (China ENFI Engineering Corporation) terlibat aktif sebagai penyedia teknologi dan desain proses, bersama dengan perusahaan tambang nikel nasional dan internasional yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga memainkan peran penting dalam regulasi dan hilirisasi komoditas nikel.
Pengembangan teknologi ini sangat relevan saat ini, di tengah gencarnya hilirisasi nikel di Indonesia. Proyek-proyek pengolahan nikel laterit tersebar di wilayah Sulawesi, Halmahera, dan Papua, yang merupakan pusat cadangan bijih nikel laterit nasional.
Permintaan global terhadap baterai kendaraan listrik mendorong kebutuhan akan nikel kelas satu (Class I Nickel) yang hanya dapat dihasilkan melalui rute hidrometalurgi seperti HPAL. Namun, tidak semua bijih dapat diolah dengan teknologi tersebut.
“Belum ada teknologi yang ekonomis dan terbukti untuk mengolah bijih kualitas menengah (Medium Grade Laterite Ore). Kami masih membutuhkan lebih banyak praktik dan inovasi untuk menemukan solusi yang andal,” ungkap Sun.
Berikut ini perbandingan empat rute utama pengolahan nikel laterit yang digunakan atau tengah dikembangkan di Indonesia:
- RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) – Proses Pirometalurgi
-Cocok untuk bijih saprolit (Ni 1,6-2,2%)
-Jalur proses: Pengeringan → Prereduksi → Peleburan → Pemurnian
-Produk: FeNi atau Nikel Matte, cocok untuk EV berbasis stainless steel
-Efisiensi: Pemulihan Ni 92–97%
-Kelebihan: Teknologi matang dan telah terbukti secara komersial
-Fitur: Sistem pemantauan cerdas, pemanfaatan limbah panas untuk efisiensi energi
- HPAL (High Pressure Acid Leaching) – Proses Hidrometalurgi
-Cocok untuk bijih limonit (Ni 0,8–1,5%, Fe tinggi)
-Jalur proses: Pelindian → CCD → Pengendapan Ni & Co → Pemurnian
-Produk: Nikel dan kobalt sebagai bahan baku baterai EV
-Efisiensi: Pemulihan Ni dan Co masing-masing 90%
-Tantangan: Investasi tinggi dan sensitivitas terhadap kualitas bijih
- Caron Process
-Jalur: Pengeringan → Pemanggangan → Reduksi → Pelarutan Amonia → Pemurnian
-Produk: Nikel logam atau oksida
-Kini jarang digunakan karena efisiensi rendah dan jejak lingkungan besar
- NST (New Smelting Technology) – Inovasi baru
Masih dalam tahap pengembangan, dengan konsep pemurnian cepat dan efisien menggunakan kombinasi teknologi pirometalurgi dan pemurnian canggih.
Masa depan industri nikel Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memilih rute teknologi yang tepat sesuai jenis bijih dan kebutuhan pasar. Proses RKEF tetap menjadi pilihan utama untuk saprolit karena efisiensi tinggi dan teknologi mapan, sementara HPAL diperlukan untuk menghasilkan nikel berkualitas baterai dari bijih limonit. Namun, untuk bijih menengah, dunia masih menunggu terobosan teknologi baru. (Shiddiq)