Beranda Asosiasi Pertambangan Sekum APNI Soroti Tantangan dan Paradoks Industri Nikel Indonesia dalam Forum Tiongkok-Indonesia

Sekum APNI Soroti Tantangan dan Paradoks Industri Nikel Indonesia dalam Forum Tiongkok-Indonesia

862
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey paparkan materi acara CNIA, Shangri-La Hotel, Jakarta, Selasa (13/5/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyoroti dinamika kompleks industri nikel nasional dalam Forum Logam Nonferrous Tiongkok-Indonesia tentang Pembangunan Berkelanjutan Rantai Industri Nikel dan Kobalt yang diselenggarakan di Hotel Shangri-La, Jakarta.

Acara tersebut dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari Indonesia dan Tiongkok, difasilitasi oleh Asosiasi Industri Logam Nonferrous Tiongkok (CNIA).

Dalam paparannya, Meidy menekankan bahwa Indonesia, meski menjadi negara dengan cadangan dan produksi nikel terbesar di dunia, masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan regulatif dalam memaksimalkan potensi sektor ini.

“Ya, kita nomor satu untuk sumber daya nikel, kita nomor satu untuk produksi nikel. Tapi, apa dampaknya bagi negara kita? Terkait industrialisasi industri nikel,” ujarnya dalam forum, Selasa (13/5/2025).

Meidy mengungkapkan keprihatinan atas ketergantungan tinggi ekspor nikel Indonesia ke Tiongkok dan negara lain, tanpa adanya nilai tambah signifikan di dalam negeri. Ia memaparkan bahwa lebih dari 70% produksi nikel nasional masih diekspor ke Tiongkok dalam berbagai bentuk, seperti Nickel NPR, Nickel Super, dan Nickel Metals. Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Amerika Serikat juga tercatat sebagai negara konsumen besar, tetapi tetap melalui jalur distribusi yang terkonsentrasi di Tiongkok.

“Meskipun kami memiliki biaya produksi nikel terendah yang pernah ada, namun karena banyaknya regulasi, terkadang tidak mudah untuk mengoptimalkan biaya.,” tambah Meidy, mengkritisi banyaknya regulasi yang dinilai membebani pelaku industri dalam negeri.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya transparansi dan data yang akurat dalam menyusun kebijakan industri. Menurutnya, APNI telah menerima data terkini yang mencakup 49 jenis produksi, 5 konsentrat, serta data mengenai investor, jenis produk, dan lokasi aktivitas mereka di seluruh Indonesia.

“Ini adalah peta semua pemain di Indonesia, semua skuter, semua [aktor infrastruktur/pendukung], dan jenis produk dan seberapa banyak mereka memproduksi,” jelasnya.

Meidy juga menyoroti tantangan dalam menarik investor yang tepat untuk membangun ekosistem industri nikel yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan nasional.

“Saya ingin tahu investor seperti apa yang membuat Indonesia menjadi Indonesia. Dan bagaimana kontribusi Tiongkok terhadap hal ini — tidak hanya dengan mengambil, tetapi juga dengan membangun,” katanya.

Di akhir sesi, Meidy menegaskan bahwa pengembangan industri nikel Indonesia harus berpijak pada kepentingan nasional, termasuk kontrol keamanan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan nilai tambah ekonomi.

“Ini Indonesia. Ini kontrol keamanan kita. Kita harus bertanya: apa yang terbaik untuk negara kita? Solusi nyata untuk sektor industri,” tutupnya dengan tegas.

Forum ini menjadi wadah penting bagi dialog strategis antara Indonesia dan Tiongkok dalam memperkuat rantai pasok logam nonferrous, khususnya nikel dan kobalt, yang semakin krusial dalam transisi energi global dan pengembangan teknologi baterai kendaraan listrik. (Shiddiq/Lily)