NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Penerapan standar Environmental, Social and Governance (ESG), sebuah keharusan baru bagi industri global, khususnya dalam perdagangan komoditas ke pasar Eropa.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa mulai 1 Januari 2027, semua produk nikel yang masuk ke Eropa wajib memenuhi sertifikasi ESG atau yang disebut sebagai Battery Passport.
“Paspor baterai ini syarat masuk ke pasar Eropa. ESG itu artinya bersih dari sisi lingkungan, sosial, tata kelola, dan jejak rantai pasok,” jelas Meidy dalam tayangan YouTube Tempo, Program Cakap-Cakap, Senin (12/5/2025).
“Tapi yang jadi masalah, standar itu disusun dari sana, tanpa memahami konteks di sini,” sambungnya.

Dia mengungkapkan bahwa Indonesia telah memiliki dasar regulasi ESG nasional, seperti Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.18 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3), Peraturan Pemerintah (PP) No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Permen Lingkungan Hidup No.113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara. Namun, ia menilai penerapan ESG ala Barat tidak bisa serta-merta dipaksakan di Indonesia.
“Kita ini nikel laterit, beda dengan negara-negara lain yang pakai nikel sulfida dan metode bawah tanah. Prosesnya beda, kondisi geologis beda. Jangan samakan Norwegia dengan Sulawesi,” tegasnya.
Ia juga menyindir standar ganda dari negara-negara maju yang memaksa negara berkembang mengikuti aturan mereka, padahal mereka sendiri belum sepenuhnya bersih.
“Kalau kamu nuntut saya bersih, kamu juga harus bersih. Jangan minta kami bersih, tapi kalian masih pakai batubara,” katanya tegas.

Sebagai tantangan dalam upaya negosiasi terhadap standar dan harmonisasi global, menurut Meidy, APNI bersama 30 negara penghasil mineral sedang menyusun kerangka standar ESG global yang lebih inklusif dan relevan dengan kondisi negara berkembang.
“Kita ingin menyusun standar yang bisa diterima pasar, tapi tetap sesuai dengan realitas di negara produsen. Kita tidak menolak ESG, tapi kita ingin duduk bareng, diskusi, bukan dipaksa,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa para pelaku industri tambang di Indonesia saat ini harus memenuhi lebih dari 200 izin lintas sektoral, dari Kementerian ESDM, KLHK, Kementerian Perdagangan, hingga Kehutanan. Beban administratif ini disebut sebagai tantangan besar yang juga harus direformasi agar pelaku usaha bisa fokus pada pengelolaan berkelanjutan.
Sementara itu, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Tri Edi Budi Susilo dalam waktu yang sama menjelaskan, untuk mendorong keadilan ekologis dan ekonomi, pentingnya melakukan pendekatan yang kontekstual terhadap isu lingkungan di Indonesia.
“Kita ini negara tropis, dengan struktur geologi, budaya, dan kapasitas berbeda. ESG itu penting, tapi harus adil. Keadilan ekologis itu ketika standar dibentuk bersama, bukan oleh satu pihak saja,” ujar Budi.
Ia mengapresiasi langkah APNI dalam membuka ruang dialog dengan negara-negara lain.
“Misi besarnya adalah agar Indonesia punya posisi tawar yang setara dalam percaturan global. Bukan hanya sebagai pemasok bahan mentah, tapi pemilik kedaulatan atas sumber daya,” pungkasnya. (Shiddiq/Lily)