NIKEL.CO.ID, JAKARTA — DPR mengingatkan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap investasi industri pengolahan nikel. Evaluasi harus dilakukan karena dampak kerusakan alam jauh lebih besar ketimbang investasi industri pengolahan nikel yang dibangun perusahaan-perusahaan industri pertambangan dan smelter.
Komisi Xll DPR RI, Ratna Juwita Sari, menegaskan hal tersebut dalam tayangan TVR Parlemen baru-baru ini, dikutip nikel.co,id, Senin (20/1/2025).
“Bagaimana saat sebuah industri utamanya ekstraktif (smelter) didirikan, nilai keekonomian dari ekosistemnya yang sudah dikorbankan. Pengorbanan itu biasanya jauh lebih besar daripada nilai investasi dari perusahaan-perusahaan itu sendiri,” ungkap Juwita.
Menurut anggota Fraksi PKB itu, dampak buruk hilirisasi nikel harus diperhatikan pemerintah pusat maupun daerah. Saat ini proses hilirisasi nikel menyebabkan deforestasi hingga pencemaran udara dan air. Kerusakan lingkungan ini juga berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat akibat rusaknya eksositem sungai dan hutan sebagai sumber mata pencarian masyrakat.
“Dari pemerintah agar ada kesadaranlah terhadap isu-isu lingkungan yang hari ini dirasakan masyarakat, terutama yang ada di sekitar wilayah tambang,” ujarnya.
Di satu sisi, katanya menjelaskan, daerah wilayah tambang menghasilkan banyak devisa untuk negara, tetapi di sisi lain, justru kesejahteraan mereka menjadi terabaikan, bahkan ekosistem lingkungan mereka terancam. Karenanya, pemerintah perlu mengevaluasi pengelolaan limbah serta melibatkan akademisi yang mampu memberikan pertimbangan terkait perkembangan hilirisasi di Indonesia.
“Tujuan melibatkan akademisi adalah agar proses hilirisasi memberikan dampak positif terhadap perbaikan aspek lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Sebagai contoh, dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan dapat dilihat dari kasus penambangan timah yang menimbulkan kerugian negara Rp271-Rp300 triliun. Apalagi ditengarai itu berasal dari penambangan ilegal yang berada di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. dari tahun 2015 hingga 2022 seluas 75 ribu hektare.
Disinyalir ada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah yang dinilai ilegal yang berada di kawasan IUP PT Timah sehingga dari sini, kegiatan penambangan tersebut mengakibatkan kerugian sebesar Rp26,6 triliun.
“Oleh karena itu, maka kerugian lingkungan pada lahan nonkawasan hutan seluas 95 ribu hektare lebih dan pada kawasan hutan sebesar 75 ribu hektare lebih, yaitu sebesar Rp271 triliun,” tegas hakim pengadilan Tindak Pidana Koruptor (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikutip laman detiknews, Rabu (11/12/2024).
Kasus kerusakan hutan akibat penambangan ini, menjerat tiga eks Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung dan telah divonis bersalahdan dengan hukuman mulai dari 2-4 tahun penjara dengan denda dan uang pengganti bervarisasi mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. (Shiddiq)