Beranda Nikel Komisi XII: Satgas Percepatan Hilirisasi harus Fokus Industrialisasi

Komisi XII: Satgas Percepatan Hilirisasi harus Fokus Industrialisasi

1028
0
Wakil Ketua Komisi Xll DPR RI Sugeng Suparwoto, Senin (13/1/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Xll DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional (PHKEN) jangan lagi berorientasi hanya pada perspektif hilirisasi tetapi harus sudah ke industrialisasi.

Hal itu, dikemukakan dalam tayangan “Mining Zone” CNBC Indonesia, Senin (13/1/2025). Ia menjelaskan, usai reses 21 Januari 2025, Komisi Xll akan membicarakan Satgas PHKEN dan menyambut baik atas terbentuknya satgas tersebut dan apa pun langkah yang dilakukan pemerintah itu.

“Sekarang adalah hilirisasi tahap dua, yang kalau kemarin dari ore, mau nikel, bauksit, dan tembaga dari bijihnya. Misalnya dari yang telah dilakukan terhadap nikel telah melalui smelterisasi itu baru pada tahap memproduksi nickel pig iron (NPI) dan nikel matte,” tegas Sugeng dalam acara tersebut.

Menurut politikus Partai Nasdem itu, smelterisasi baru memproduksi bahan olahan, sekarang sudah waktunya Indonesia masuk ke dalam industrialisasi karena komoditas nikel terbatas. Memang Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia, tetapi dengan produksi yang besar selama ini, sampai 1,6 juta ton per tahun. Dari 55 juta ton cadangan nikel Indonesia sudah berkurang, hanya tinggal 22 juta ton.

“Kalau saat ini tetap diproduksi sekitar 1,5 juta ton per tahun, maka Indonesia bisa kekurangan nikel dan diperkirakan umurnya hanya sampai 15 tahun,” ujarnya.

Karena itu, ia mengimbau, sebagai suatu bangsa dan negara, sudah waktunya mengoreksi diri jika melihat komposisi perindustrian dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama ini terus menurun. Pada era Orde Baru PDB Indonesia bisa mencapai 28%, tetapi pada era sekarang hanya 18% karena terus turun.

Komisi Xll DPR RI sebagai mitra sektor perindustrian, sambungnya, melihat industri-industri yang melibatkan baik sumber daya alam maupun tenaga kerja yang besar mengalami anomali, di antaranya, pertama, di pertambangan nikel dan komoditas nikel ini ada hulu tetapi tidak ada hilirnya. Hilirnya pun baru menghasilkan NPI, nikel matte, dan sekarang sudah ada smelter tembaga yang akan menghasilkan katode di Gresik, Tuban, Jawa Timur.

“Sehingga ada hulu tidak ada hilir, tinggal tunggu waktu saja karena sumber daya alam akan habis,” tuturnya.

Sebaliknya, lanjutnya, di sektor tekstil, ada hilir tetapi tidak ada hulunya, sehingga yang terjadi tekstil kemunduran seperti yang dirasakan saat ini. Hulu tekstil itu, misalnya kapas, serat nilon yang diolah oleh pabrik industri petrochemical.

“Kita berharap bahwa satgas tersebut berorientasi pada SDA yang menghasilkan end product yang siap kita gunakan,” lanjutnya.

Ia memaparkan, produk akhir yang siap digunakan, misalnya nikel maupun tembaga. Saat ini Indonesia berencana membangun 103 gigawatt listrik baru dalam 15 tahun. Dari 103 gigawatt itu 75% renewable energy, yang 5,3 gigawatt itu dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Jelas ini memerlukan kecermatan. Pada 75% gigawatt ini juga memerlukan battery energy storage system (BESS) yang bahan bakunya terbuat dari nikel, kobalt, tembaga, dan litium.

“Kita memiliki nikel, maka dari itu satgas harus diorientasikan tidak lagi dalam perspektif hilirisasi seperti sekarang, tetapi lebih pada industri-industri baterai,” paparnya.

Terakhir, dia mengungkapkan bahwa Komisi Xll DPR mendorong terbentuknya industri baterai, yakni Indonesia Battery Corporation (IBC). Namun, kondisi saat ini, IBC layaknya mati tidak mau hidup pun lesu.

“Padahal itu adalah institusi yang strategis untuk mendorong hilirisasi dalam konteks yang sebenar-benarnya adalah industrialisasi,” pungkasnya. (Shiddiq)