
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia semakin menunjukkan komitmennya untuk menjadi pemimpin dalam industri kendaraan listrik (EV) global melalui hilirisasi nikel.
Dalam acara Executive Forum yang diselenggarakan oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bekerjasama dengan Media Indonesia di The Tribrata Hotel & Convention Center Jakarta, Sekretaris Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Heldy Satrya Putera, membuka diskusi mengenai pentingnya hilirisasi nikel sebagai kunci pengembangan ekosistem EV.
Heldy menegaskan bahwa hilirisasi nikel bukanlah konsep baru bagi pemerintah Indonesia. Sejak 2009, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mewajibkan para pelaku usaha tambang untuk memproses hasil tambangnya di Indonesia.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja, dengan waktu pembangunan smelter atau pengolahan yang diberikan hingga lima tahun. Namun, implementasi peraturan tersebut menghadapi tantangan, dan pada 2014, pemerintah mengeluarkan regulasi yang melarang ekspor nikel dalam bentuk bijih mentah (nickel ore).
Meskipun regulasi ini tidak berjalan mulus pada awalnya, Indonesia tidak berhenti untuk berinovasi. Pada 2020, pemerintah kembali memperkenalkan kebijakan hilirisasi nikel yang lebih intensif, mencakup dua jenis produk utama: stainless steel dan baterai listrik.
Menurut Heldy, sektor hilirisasi nikel kini mengarah pada dua komoditas utama yang akan menunjang industri kendaraan listrik.
“Pada awalnya, teknologi pengolahan nikel difokuskan pada stainless steel. Namun, dengan perkembangan teknologi, kini kita juga memproduksi nikel untuk baterai kendaraan listrik,” ungkapnya dalam forum tersebut, di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Proses hilirisasi untuk produk stainless steel telah berjalan lebih dulu, namun tantangan terbesar adalah mempercepat produksi untuk baterai kendaraan listrik, yang baru berkembang belakangan ini.
Salah satu cara Indonesia memajukan hilirisasi adalah dengan membangun ekosistem yang terintegrasi, mulai dari tahap pengolahan nikel hingga produk akhir seperti baterai kendaraan listrik. Sebagai contoh, Indonesia telah menarik investor besar seperti Hyundai, yang kemudian diikuti oleh LG untuk pabrik baterai kendaraan listrik.
Saat ini, meski Indonesia telah memiliki pabrik baterai, beberapa bahan baku utama seperti prekursor katoda dan anoda masih diimpor. Namun, pembangunan fasilitas produksi bahan baku baterai seperti prekursor katoda telah dimulai di Halmahera, yang diharapkan segera dapat memproduksi secara massal.
Selain itu, Heldy menuturkan, hasil dari hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah Indonesia telah membawa dampak positif yang signifikan. Salah satunya adalah lonjakan ekspor nikel, yang tercatat mencapai US$33 miliar pada 2023, meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan US$3,3 miliar pada 2017.
“Ini baru produk pertama. Bayangkan jika kita sudah sampai pada tahap baterai kendaraan listrik, nilai ekspornya akan jauh lebih besar,” ujarnya dengan optimistis.
Dia juga menambahkan, peningkatan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga membuka peluang kerja dan mendorong perkembangan industri lokal.
“Nilai ekspor kita belum mencakup seluruh potensi yang ada. Jika hilirisasi ini berkembang lebih lanjut, maka Indonesia akan semakin memperkuat posisinya dalam rantai pasokan global untuk kendaraan listrik,” tambahnya.
Selain itu, ia memaparkan bahwa Indonesia, sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik global.
Sementara itu, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Abdul Kohar, juga mengingatkan bahwa Indonesia kini berada di posisi yang strategis.
“Nikel adalah bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik. Dengan hilirisasi yang terus digalakkan, Indonesia dapat memimpin pasar global untuk produk-produk yang mendukung industri EV,” ujar Kohar dengan semangat.
Pada tahun 2017, produksi nikel Indonesia masih berada pada angka 350 ribu metrik ton, namun kini sudah meningkat pesat hingga mencapai 1,8 juta metrik ton pada 2023. Hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan untuk baterai kendaraan listrik dan produk turunannya.
“Proses hilirisasi nikel ini mendukung industri kendaraan listrik, yang membutuhkan nikel berkualitas tinggi untuk baterai,” kata Abdul Kohar, menambahkan pentingnya ekosistem hilirisasi nikel yang berkelanjutan untuk mendukung industri EV.
Hilirisasi nikel bukan hanya soal peningkatan nilai tambah, tetapi juga tentang membangun ekosistem yang lebih luas untuk mendukung industri kendaraan listrik global.
Dengan kemajuan pesat dalam produksi nikel olahan dan berkembangnya ekosistem hilirisasi, Indonesia siap untuk memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam industri EV, yang akan berdampak pada perekonomian negara, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan berkelanjutan di masa depan. (Shiddiq)