Beranda Berita Nasional APNI Dukung Pembentukan Ditjen Gakkum ESDM untuk Cegah Illegal Mining di Indonesia

APNI Dukung Pembentukan Ditjen Gakkum ESDM untuk Cegah Illegal Mining di Indonesia

1083
0

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Berdasarkan Perpres No. 169 Tahun 2024 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah RI resmi membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Energi dan Sumber Daya Mineral (Gakkum ESDM).

Menurut Pasal 24 perpres tersebut, Ditjen Gakkum ESDM mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penegakan hukum energi dan sumber daya mineral. Rincian tugas-tugasnya diuraikan dalam Perpres No. 169 Tahun 2024 Pasal 25.

Menanggapi terbentuknya Ditjen Gakkum, Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyambut positif adanya ditjen ini.

“Kalau dari APNI, sangat merespon positif terbentuknya Gakkum di Kementerian ESDM. Ini langkah yang tepat untuk memonitoring pergerakan para illegal mining, dan bukan hanya di nikel, namun di semua tambang di Indonesia. Karena banyak tambang-tambang itu di daerah yang agak kurang tersentuh, sehingga kurangnya pengawasan terhadap proses bisnis dan proses produksi di beberapa tambang dalam konteks illegal mining,” tutur wanita kelahiran 21 April itu dalam wawancara eksklusif bersama nikel.co.id, Jumat (8/11/2024).

Namun, ia menegaskan bahwa yang paling penting adalah pemerintah pusat harus menggandeng pemerintah daerah sebagai pengawas langsung.

“Yang paling penting adalah para Forkopimda yang ada di daerah dan terpusat lagi di wilayah-wilayah tambang seperti Polsek, Babinsa, atau Babinkamtibmas. Tiga matra TNI juga harus digandeng karena mereka adalah pengawas langsung di lapangan. TNI AL yang memiliki Pospol AL di kabupaten atau kecamatan masing-masing di wilayah tambang juga harus digandeng karena mereka adalah tim pengamanan dalam hal ini mereka adalah orang yang berada langsung di beberapa titik-titik tambang,” tegasnya.

Ia melanjutkan bahwa Indonesia harus mendapatkan data dari daerah karena tambang itu ada di daerah, bukan di pusat. 

“Selain itu, juga pengawasan juga harus menggandeng Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) atau syahbandar karena mereka adalah titik akhir tongkang atau kapal yang keluar dari angkutan kargo yang dianggap ilegal”, paparnya.

Menurutnya, KSOP juga harus digandeng karena banyak areal-areal yang dilakukan “ilegal” itu adalah penggunaan pelabuhan yang notabenenya pelabuhan tersebut bukan peruntukan untuk umum, namun diperjualbelikan atau dipinjamkan kepada perusahaan lain. 

Jika pelabuhan milik perusahaan tersebut masih berstatus sebagai terminal khusus (tersus), maka hanya kargo perusahaan itu yang boleh diangkut melalui pelabuhan tersebut, kecuali jika pelabuhan tersebut telah mendapatkan izin untuk beroperasi sebagai terminal umum (terum). Namun, saat ini masih ada banyak tersus yang digunakan untuk mengangkut kargo milik perusahaan lain.

“Nah, yang dikontrol itu seluruh supply chain dari upstream to downstream. Dari penambang, dari prosesnya, dari wilayah penambangannya, dari status perusahaan pertambangannya, dari status IUP-nya, dari status hutannya, dari status pelabuhannya sampai ke pihak pembeli, yaitu pabrik atau smelter,” jelasnya.

Dari proses tersebut, menurut Meidy, kemudian kita baru bisa mengontrol alur peta proses bisnis (Probis), apakah itu ilegal atau legal. Kembali, pemantauannya harus melibatkan daerah di titik paling kecil, di wilayah kabupaten dan kecamatan masing-masing.

“Sekali lagi, yang paling penting adalah penindakan dan ketegasan dalam menindak illegal mining yang merugikan negara dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Ini yang paling penting dan ini berlaku untuk semua tambang, bukan hanya tambang nikel,” pungkasnya. (Aninda)