
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Menggali kebijakan hilirisasi di sektor mineral dan batu bara (minerba) untuk masa depan Indonesia yang diamanahkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 dalam pemerintahan Presiden Subianto 2024-2029.
Dalam sesi pertama, Ahli Tambang Madya dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Toto Widianto, menguraikan kebijakan peningkatan nilai tambah di sektor mineral dan batubara (minerba). Ia menegaskan bahwa kebijakan ini diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang merevisi UU Nomor 2 Tahun 2009.
Undang-undang ini mengharuskan para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) komoditas logam untuk menjalankan pengolahan mineral guna meningkatkan nilai tambah, khususnya melalui proses pemurnian.
“Pada mineral logam, proses hilirisasi mensyaratkan pemurnian atau refining untuk mencapai kemurnian yang hampir sempurna, sekitar 99,99%. Sedangkan untuk mineral non-logam dan batuan, dilakukan melalui pengolahan tanpa pemurnian,” jelas Toto dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Analisis Mahadata Kebijakan Hilirisasi: Strategi dan Diplomasi Indonesia Menghadapi Dinamika Global” di Ashley Hotel, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024).
Di sisi lain, menurutnya untuk komoditas batubara, proses hilirisasi meliputi konversi batubara menjadi kokas, verifikasi, dan likuifaksi atau pencairan batubara. Hal ini dilakukan guna memaksimalkan pemanfaatan batubara sebagai energi dan bahan baku industri dalam jangka panjang.
Kebijakan Hilirisasi Nikel dan Peran Antar-Kementerian
Lebih lanjut, Toto membahas kebijakan khusus terkait hilirisasi nikel, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 sebagai tindak lanjut dari UU No. 3 Tahun 2020. PP ini memberikan panduan lebih detail tentang tata kelola hilirisasi di sektor pertambangan, termasuk pembagian kewenangan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
“Untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian yang berdiri sendiri dan tidak terintegrasi dengan tambang, izin usahanya berada di bawah Kementerian Perindustrian. Sementara, kegiatan hilirisasi yang terintegrasi dengan pertambangan tetap menjadi kewenangan Kementerian ESDM,” ujarnya.
Pembagian peran ini menciptakan sinergi antar-kementerian dalam memfasilitasi proses hilirisasi.
Relaksasi Ekspor dan Kelanjutan Hilirisasi
Dia juga menjelaskan, kebijakan terbaru dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2024, yang merevisi Permen Nomor 25 Tahun 2018. Peraturan ini memberikan relaksasi ekspor konsentrat hingga akhir Desember 2024 bagi perusahaan yang telah memasuki tahap commissioning pada akhir Mei 2024. Salah satu contoh penerapan relaksasi ini adalah pada PT Freeport untuk komoditas tembaga.
Kedepannya, ia menegaskan bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk melanjutkan program hilirisasi ini sebagai bagian dari asta cita atau visi Presiden dalam menggenjot industrialisasi di Indonesia.
Kolaborasi dan Harmonisasi Data Antar-Kementerian
FGD ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas kementerian. Dalam upaya mengoptimalkan hilirisasi, Kementerian ESDM terus berkoordinasi dengan Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Salah satu fokus utama dalam kolaborasi ini adalah harmonisasi data.
“Data menjadi hal krusial dalam proses hilirisasi ini, terutama untuk memastikan kebijakan yang diambil berdasarkan data yang akurat dan seragam,” ungkap Toto.
Acara FGD ini berhasil memberikan pandangan yang mendalam bagi para peserta mengenai strategi hilirisasi Indonesia serta tantangan dan peluang yang akan dihadapi dalam dinamika global.
Acara ini diselenggarakan oleh Universitas Bina Nusantara (Binus) bersama dengan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memberikan pemaparan komprehensif mengenai arah kebijakan hilirisasi Indonesia dalam sektor pertambangan. (Shiddiq)