NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Program hilirisasi nikel yang digencarkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terbukti berhasil meningkatkan nilai tambah dan pendapatan negara. Hingga tahun 2024, hilirisasi nikel tercatat telah menyumbang sekitar Rp425 triliun bagi perekonomian nasional.
Sekretaris PP Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP SPSI), Sulistiyono, SH, mengatakan, selain kontribusi ekonomi, hilirisasi juga membuka peluang kerja besar di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Halmahera dan Sulawesi, dengan lonjakan tenaga kerja yang signifikan.
“Jumlah pekerja di kawasan industri pengolahan nikel, khususnya di Halmahera Tengah, meningkat drastis dari sekitar 9.000 orang pada tahun 2019 menjadi 75.000 orang di tahun 2024. Ini berarti peningkatannya lebih dari 700 persen,” kata Sulistiyono melalui wawancara kepada nikel.co.id, Senin (4/11/2024).
“Hal serupa juga terlihat di wilayah pengembangan hilirisasi nikel lainnya, seperti Halmahera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara,” tambahnya.
Namun, dia menegaskan, di balik keberhasilan ini, kesejahteraan dan keselamatan para pekerja masih menjadi tantangan besar. Menurutnya terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pekerja di tambang dan pekerja di smelter. Pekerja di smelter yang sebagian besar masih berstatus kontrak (PKWT) kerap menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup layak.
“Jika hanya mengandalkan upah pokok, sulit untuk hidup layak, terutama karena sekitar 30 persen dari gaji harus dialokasikan untuk sewa atau tempat tinggal. Banyak pekerja bergantung pada upah lembur untuk mencukupi kebutuhan,” ujarnya.
Dari segi upah, ia mengungkapkan, pekerja di smelter sering kali hanya mendapatkan upah minimum, yang dianggap belum sebanding dengan risiko kerja yang tinggi.
“Mayoritas pekerja di sektor pertambangan menjalani jam kerja yang panjang. Tanpa tambahan pendapatan dari lembur, mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.
Selain masalah kesejahteraan, Sulistyo menegaskan, aspek keselamatan kerja juga menjadi perhatian serius. Kecelakaan kerja di sektor hilirisasi nikel cukup sering terjadi, meskipun tidak semuanya terekspos media.
“Kasus kecelakaan di salah satu smelter di Morowali yang menewaskan puluhan pekerja pada akhir tahun 2023 terulang kembali pada Juni, dan bahkan pada akhir Oktober 2024. Ini menandakan rendahnya komitmen perusahaan terhadap K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja),” tegasnya.
Ia berharap, di bawah kepemimpinan pemerintahan Prabowo-Gibran, pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan dan keselamatan pekerja di sektor ini. Selain itu, dia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelolaan lingkungan di area tambang.
“Pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan pekerja dan keselamatan kerja, serta dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Hutan yang rusak akibat pertambangan harus direklamasi kembali sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar,” tutupnya.
Dengan berkembangnya sektor hilirisasi nikel, diharapkan kesejahteraan dan keselamatan para pekerja, serta kelestarian lingkungan sekitar tambang, dapat terus menjadi prioritas bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan terkait. (Shiddiq)