
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Universitas Bina Nusantara (BINUS) bersama dengan Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang membahas kebijakan hukum dan strategi hilirisasi mineral di Indonesia, khususnya untuk komoditas nikel, tembaga, mangan, dan pasir silika. FGD yang diadakan secara daring dan luring ini dihadiri oleh para ahli hukum, akademisi, serta perwakilan dari kementerian dan asosiasi terkait.
Acara ini diawali dengan sambutan oleh Prof. Tirta Nugraha Sutama, Deputi Kementerian Investasi BKPM, yang menyampaikan arah dan tujuan FGD ini dalam meningkatkan sinergi antar bidang terkait hilirisasi mineral. Dia juga memberikan arahan kepada ketua bidang di BINUS yang bertanggung jawab dalam pengkajian kebijakan hukum terkait mekanisme hilirisasi mineral di Indonesia.
Tugas dan Fokus Kebijakan Hukum dalam Hilirisasi
Dalam sambutannya, Prof. Tirta menekankan pentingnya kajian hukum terhadap kebijakan dan laporan domestik maupun internasional terkait mineral yang sedang dikembangkan di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Indonesia perlu memperkuat analisis terhadap komoditas seperti nikel, mangan, dan pasir silika dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan mineral domestik.
“Ada kebutuhan besar untuk menerapkan pendekatan berbasis data spasial dalam kebijakan hilirisasi mineral, agar keputusan yang diambil tepat sasaran dan berbasis bukti. Misalnya, untuk cadangan nikel di wilayah tertentu, kita dapat membuat kebijakan berdasarkan peta spasial terkait keberadaan cadangan mineral tersebut,” jelas Prof. Tirta.
Dia juga menegaskan perlunya Indonesia mengembangkan dasbor nasional terkait cadangan mineral untuk menunjang pengambilan kebijakan yang efektif.
Selain itu, FGD juga memfokuskan analisis pada isu hilirisasi dan dedikasi nikel, termasuk diplomasi nikel di masa depan. Pendekatan ini mencakup aspek hukum, kebijakan nasional, serta kerja sama internasional agar Indonesia memiliki langkah strategis yang komprehensif dalam diplomasi mineral.
Subklaster Penelitian dan Undangan Peserta
FGD kali ini mencakup tiga subklaster utama yaitu Hukum dan Kebijakan, Artificial Intelligence, dan Diplomasi Strategis.
Ketua Tim Klaster Hukum dan Kebijakan, Dr. Ahmad Sofyan, menjelaskan bahwa acara ini bertujuan untuk mendalami penelitian terkait hilirisasi mineral, yang akan menjadi dasar rekomendasi bagi pemerintah.
“FGD ini menjadi bagian dari kerjasama antara BINUS dan BKPM, dengan menghadirkan para pakar dan praktisi dari berbagai kementerian, asosiasi, dan perusahaan terkait. Sebanyak 17 institusi diundang dalam acara ini, termasuk enam kementerian seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Investasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum, dan Kementerian Perindustrian,” ungkap Dr. Sofyan.
FGD ini juga dihadiri oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral (AGNI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), serta perusahaan tambang nikel seperti PT Vale dan PT Bayan Resources Tbk.
Pembahasan Mengenai Kebijakan Larangan Ekspor dan Banding Indonesia di WTO
FGD juga membahas dinamika kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang diperdebatkan di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Namun, kebijakan ini mendapat tentangan dari World Trade Organization (WTO), yang memutuskan bahwa Indonesia melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional dalam Pasal XI:1 dan Pasal 3.1(b).
Uni Eropa mengklaim bahwa larangan ekspor Indonesia, persyaratan persyaratan dan pemasaran dalam negeri, serta persyaratan perizinan ekspor yang berlaku untuk bahan mentah, termasuk nikel, menambang besi, kromium, batu bara, limbah logam, skrap, kokas, tidak sesuai dengan Pasal XI:1 Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994.
Uni Eropa juga mengklaim skema transmisi bea masuk merupakan subsidi yang bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas impor yang dilarang berdasarkan Pasal 3.1 b) Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Penyeimbang/Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM).
Meski sempat kalah dalam gugatan, pemerintah Indonesia pada tahun 2022 mengajukan banding melalui Dispute Settlement Body di WTO. Proses banding ini masih berjalan hingga kini dan memerlukan waktu cukup lama, namun Indonesia tetap optimis untuk mempertahankan kebijakan hilirisasi demi kepentingan jangka panjang.
Tidak hanya terkait nikel, Indonesia juga memberlakukan pembatasan serupa terhadap komoditas mineral lain seperti tembaga dan pasir silika. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah mineral dalam negeri, meski di sisi lain Indonesia tetap dihadapkan pada risiko tuntutan internasional.
Harapan dan Langkah Strategis
Di akhir FGD, Prof. Tirta berharap agar FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi yang memperkuat dasar hukum dan kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia. Langkah ini akan didukung dengan penggunaan big data serta intelijen spasial untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan pengambilan kebijakan berbasis bukti.
“Kami berharap strategi yang dihasilkan dari FGD ini dapat memandu langkah komprehensif yang didukung oleh data dan intelijen spasial, sehingga kebijakan hilirisasi dapat berjalan optimal demi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkas Prof. Tirta.
Acara FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang berfokus pada pengembangan industri mineral dan batubara di Indonesia, serta menggali informasi terkini terkait tantangan dan peluang dalam hilirisasi mineral. (Shiddiq)