
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menghadiri undangan FGD Diskursus Green Jobs dalam Kebijakan Hilirisasi Nikel dan Narasi Transisi Energi di Indonesia untuk melihat dampak hilirisasi nikel terhadap kontribusi dalam transisi energi dari hasil riset Koaksi Indonesia.
Plt Direktur Program Koaksi, Indra Sari Wardhani, menjelaskan bahwa Koaksi adalah sebuah Non Governmental Organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan terutama di beberapa isu perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, dan transisi energi.
“Saat ini kita sedang melakukan sebuah riset terkait dengan hilirisasi nikel untuk melihat apakah sebenarnya hilirisasi nikel yang dilakukan saat ini berkontribusi terhadap transisi energi, peningkatan green job atau lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan,” kata Sari dalam FGD Diskursus Green Jobs dalam Kebijakan Hilirisasi Nikel dan Narasi Transisi Energi di Indonesia, di Oria Hotel, Jl. K.H Wahid Hasyim, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2024).
Menurutnya, studi riset yang dilakukan Koaksi ini untuk memperkaya diskursus dari isu-isu hilirisasi yang ada di Indonesia dan untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas dari pemangku kepentingan yang lain. Dalam melakukan riset, Koaksi menggunakan sumber data dari laporan investigative.

Dari hasil riset tersebut, ditemukan tiga temuan, yaitu pertama awalnya hilirisasi nikel dinilai berkontribusi terhadap transisi energi namun ternyata tidak. Hal ini berdasarkan data dan analisis yang dikumpulkan bahwa tidak ada hubungan kontribusi yang kuat atau atau positif.
“Hal ini juga diamini oleh FGD hari ini. Jadi dari peserta yang kita undang hari ini baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil dan APNI, semuanya mengamini bahwa di awal hilirisasi nikel ini didesain bukan untuk transisi energi tetapi didesain untuk industrialisasi dalam hal peningkatan nilai tambah dari komoditas nikel,” ujarnya.
Dia menegaskan, hilirisasi nikel memang tidak ada kontribusi terhadap transisi energi pada saat ini dan transisi energi saat ini masih sangat dini atau sangat awal untuk melihat kontribusinya. Hal itu karena memang saat ini industri nikel yang dibangun baru tahapan industrinya itu sendiri.
“Belum sampai ke industri turunan yang lebih jauh dari hulu ke hilir itu belum terbangun sehingga masih terlalu dini untuk melihat itu,” tegasnya.
Ia juga memaparkan, untuk temuan yang kedua adalah dampak hilirisasi nikel terhadap kontribusi penciptaan lapangan pekerjaan selama ini, kualitas hidup masyarakat dan pekerja. Dari data-data analisis, Koaksi menilai hilirisasi nikel belum sepenuhnya menciptakan lapangan pekerjaan dan kualitas hidup masyarakat maupun pekerjanya.
Hal ini diperkuat oleh para peserta FGD yang menilai bahwa hilirisasi nikel ini juga ada dampak negatif terhadap lapangan pekerjaan dan kualitas hidup masyarakat yakni perubahan tatanan sosial, dari profesi awal masyarakat sebagai nelayan, petani berubah ke buruh pabrik tambang nikel dan smelter.
Hal itu dinilai bukan hanya sebatas tergiur oleh income (pemasukan) yang lebih besar dari tambang dan smelter nikel tapi juga karena degradasi atau penurunan lingkungan yang mengakibatkan kualitas hasil tangkapan nelayan dan pertani banyak yang menurun. Sehingga produktivitas petani dan nelayan juga menurun yang mengakibatkan income mereka juga menurun.
“Dan inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya pergeseran di tatanan sosial terutama di mata pencaharian masyarakat sosial,” paparnya.
Sari kembali melanjutkan, menyoal ketenagakerjaan yang didominasi oleh tenaga kerja lokal tapi bukan dari masyarakat daerah sekitar tambang nikel. Seperti masyarakat di daerah Sulawesi, dan Maluku di daerah pertambangan nikel, ditambah tenaga kerja asing asal China.
Hal ini menimbulkan konflik sosial karena perbedaan budaya kerja antara pekerja lokal dan China yang memiliki etos kerja yang tinggi yang perlu mendapatkan perhatian pemangku kepentingan.
Selain itu, dia menambahkan, munculnya isu terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar di industrialisasi nikel karena hilirisasi merupakan proyek strategis nasional (PSN) yang seluruh wewenang berada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak memiliki wewenang dalam menangani masalah-masalah K3. Sementara kewenangan yang ada di pemerintah pusat terlalu jauh untuk bisa menjangkau persoalan K3 yang ada di lapangan.
Ditambah isu upah buruh pabrik di industri nikel lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) namun berbanding terbalik dengan yang sebenarnya. Kenyataannya, harga kebutuhan pokok naik sangat tinggi yang menyebabkan inflasi lokal sehingga harga-harga kebutuhan pokok lebih tinggi.
Selain itu juga, adanya juga degradasi lingkungan, kualitas pertanian, peternakan dan perikanan menurun sehingga mengakibatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan didatangkan dari daerah lain yang menyebabkan ongkos lebih tinggi.
“Jadi, terjadi inflasi lokal di daerah yang menyebabkan secara income di atas UMR tapi kemudian daya belinya pun menjadi menurun karena harga-harga lebih mahal,” tambahnya.
Isu polusi juga turut mewarnai dalam FGD, ia pun menjelaskan, polusi berkontribusi terhadap kesehatan para pekerja dan masyarakat sekitar tambang sehingga ketika tingkat kesehatannya menurun maka akan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi.
Sari menegaskan, sektor pekerja terutama penerapan K3 dan peraturan kerja dinilai belum mampu menyelesaikan masalah yang terjadi dilapangan. Seperti konflik sosial antara pekerja dari Cina dengan pekerja lokal. Ternyata, ditemukan fakta adanya larangan pekerja asal China membentuk Serikat Pekerja yang ditetapkan pemerintah China sendiri. Sementara, pekerja lokal dibolehkan untuk membentuk Serikat Pekerja
“Jadi ada gap (kesenjangan) di sini, selain masalah bahasa, hal itu membuat tekanan pekerja migran asal China ini sangat tinggi dan tingkat stres muncul,” tegasnya.
Dari diskusi ini, menurut dia, dapat diketahui tingkat stres yang tinggi pekerja asal China sehingga tingkat keinginan bunuh diri pun semakin meningkat. Kemudian, berbagai masalah yang ada di lapangan belum seluruhnya disampaikan pada FGD hari ini.
“Sebenarnya kita melihat bahwa diskusi ini sangat penting, nantinya ini bisa memberikan masukan baik kepada pemerintah maupun DPR juga kepada pemangku kepentingan perihal apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan,” pungkasnya. (Shiddiq)