NIKEL.CO.ID, PARIS – International Energy Agency (IEA) baru saja merilis laporan “Global Critical Minerals Outlook 2024” pada 17 Mei 2024.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa seiring dengan meningkatnya penggunaan energi bersih, permintaan terhadap mineral penting juga semakin tinggi.
Permintaan mineral untuk teknologi energi bersih diproyeksikan meningkat dua kali lipat antara sekarang dan tahun 2030, sesuai dengan skenario kebijakan saat ini atau Stated Policies Scenario (STEPS).
Permintaan ini akan jauh lebih tinggi dalam skenario yang mencakup semua tujuan energi dan iklim nasional, yaitu Announced Pledges Scenario (APS), dan hampir tiga kali lipat pada tahun 2030 serta empat kali lipat pada tahun 2040 dalam Skenario Net Zero Emission (NZE), mencapai hampir 40 megaton (Mt).
Litium mengalami pertumbuhan permintaan tercepat karena kebutuhan baterai yang meningkat pesat. Dalam Skenario NZE, misalnya, permintaan litium diperkirakan akan meningkat sembilan kali lipat hingga tahun 2040.
IEA memprediksi bahwa pada tahun 2040, total nilai pasar mineral utama untuk transisi energi, seperti tembaga, litium, nikel, kobalt, grafit, dan tanah jarang, akan meningkat dua kali lipat menjadi lebih dari US$770 miliar dalam Skenario NZE.
Manfaat dari ekspansi pasar ini tersebar di berbagai wilayah, terutama dalam sektor pertambangan. Amerika Latin diperkirakan akan mendapatkan nilai pasar terbesar dari hasil tambang, sekitar US$120 miliar pada tahun 2030.
Indonesia diproyeksikan mengalami pertumbuhan tercepat, menggandakan nilai pasarnya pada tahun 2030 berkat produksi nikelnya yang berkembang pesat.
Afrika juga akan melihat peningkatan nilai pasar sebesar 65% pada tahun 2030. Hampir 50% dari nilai pasar pemurnian akan terkonsentrasi di China pada tahun 2030.
China juga diperkirakan akan mengalami peningkatan nilai pasar bahan tambang dengan meningkatnya produksi tembaga dan litium.
Namun, analis di Responsible Mining and Metals, Steven Brown, mengutarakan opininya, dia sangat meragukan perkiraan tiga produsen nikel terbesar untuk tahun 2030.
“Indonesia hampir pasti akan menguasai 80% pangsa pasar untuk pertambangan dan pemurnian pada tahun 2030. Sepertinya tidak ada negara lain selain Indonesia yang memiliki banyak peluang untuk meningkatkan produksi dalam waktu dekat,” katanya.
Perkiraan produksi IEA tampaknya bergantung pada pengumuman proyek-proyek, lanjutnya. Akan tetapi, metode ini secara konsisten meremehkan produksi Indonesia di masa depan.
Proyek-proyek di Indonesia seringkali tidak diumumkan sampai mereka siap untuk dibangun, dan banyak analis tidak mengetahui sebagian besar proyek-proyek tersebut sampai mereka berproduksi. (Aninda)