
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Integrasi pertambangan rakyat dan skala kecil atau artisanal small-scale mining (ASM) merupakan faktor penting dalam memicu perekonomian yang lebih luas untuk mendorong pembangunan pertambangan berkelanjutan di wilayah ASEAN.
Hal itu disinggung Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara (Minerba) Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Julian Ambassadur, pada ASEAN-IGF Workshop on Formalization of ASM yang diadakan Kementerian ESDM di Bali, Senin (29/4/2024).
Pada acara yang merupakan rangkaian pertemuan The 11th ASOMM Joint Working Group Meeting and Its Associated Meetings, 29 April – 3 Mei 2024, itu, Julian mengatakan, “Workshop ini diharapkan menghasilkan rekomendasi awal, termasuk strategi manajemen ASM awal dan/atau kerangka kerja model atau pedoman formalisasi ASM.”
Menurut dia, beberapa negara telah berupaya menerbitkan regulasi terkait pertambangan rakyat, tetapi masih banyak masayarakat yang melakukan penambangan secara ilegal.
“Jika tidak diatur dan tidak dimonitor dengan baik, pertambangan rakyat berpotensi terhadap jaminan keselamatan dan pengelolaan lingkungan yang signifikan,” ujarnya sebagaimana siaran pers Ditjen Minerba yang dikirim ke nikel.co.id, Kamis (2/5/2024).
Masih menurut Julian, sebuah studi global oleh Intergovernmental Forum on Mining, Minerals, Metals and Sustainable Development (IGF), sekitar 80% penambang rakyat merupakan pertambangan tanpa izin (PETI). Pertambangan ini umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan dan keselamatan, serta dampak sosio-ekonomi.
“PETI dapat menjerat sebagian besar penambang dan masyarakat dalam siklus kemiskinan dan mengecualikan mereka dari perlindungan hukum dan dukungan yang dibutuhkan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, workshop tersebut merupakan sarana berbagi pengetahuan dan praktik pertambangan dan pengolahan mineral yang baik, termasuk dari negara yang memiliki aspek pertambangan maju dan organisasi internasional.
“Sangat penting bagi ASEAN untuk mempelajari cara mengintegrasikan sektor ini ke dalam ekonomi, masyarakat, dan sistem regulasi yang formal,” katanya memberi penekanan.
Dalam workshop tersebut Dr. Agus Wahyudi, dari Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara Tekmir, memaparkan hasil pengumpulan baseline data yang dilakukan pada 2023 untuk mendapatkan data dan informasi dari negara anggota ASEAN mengenai praktik ASM di setiap negara ASEAN.
Kemudian, Prof. Gavin Hilson, University of Surrey, Inggris, memaparkan informalitas dan keilegalan ASM di Afrika. Dilanjutkan Andoni Torrontegui, International Partnership, ENAMI-Chile, menguraikan ASM di Chile dan peran organisasi ENAMI. Selanjutnya, strategi dan implementasi formalisasi ASM di Honduras dikupas tuntas oleh David Alcantara dari Instituto Hondureño de Geología y Minas.
Dalam kesempatan itu, Marcin Piersiak, Alliance for Responsible Mining, menjelaskan kerangka formalisasi ASM dan pertambangan rakyat skala besar di Colombia dan Peru dalam aspek cost-benefit dan fiskal. Masalah tata kelola dan aspek sosial ekonomi terkait pertambangan rakyat dan skala kecil diuraikan oleh Fitsum Weldegiorgis dari University of Queensland, Australia.
Workshop dibagi menjadi tiga topik utama, yaitu pemaparan kondisi ASM saat ini di masing-masing negara ASEAN yang dibawakan oleh setiap delegasi dari negara anggota ASEAN. Selanjutnya, pemaparan studi kasus atau pengalaman/cerita sukses dan pelajaran di beberapa negara dan regional dalam mengintegrasikan ASM ke dalam perekonomian, termasuk formalisasi, regulasi, teknologi, dan aspek sosial ekonomi.
Topik ketiga yang dibahas adalah pamaparan model kerangka kerja dan contoh negara dalam memformalisasi pertambangan rakyat dan skala kecil dan bagaimana kerangka kerja tersebut dapat diterapkan dan diterapkan di ASEAN.
Dalam acara tersebut, hadir beberapa pakar berpengalaman dalam menangani pertambangan rakyat, seperti Marina Ruete, IGF Senior Law Advisor and ASM Lead yang membahas formalitas, informalitas dan ilegalitas pertambangan rakyat dan skala kecil. (Shiddiq)