NIKEL.CO.ID, 4 Desember 2023-Pelaku usaha pertambangan nikel nasional masih menghadapi berbagai persoalan dalam mensinambungkan roda bisnisnya. Berharap meraup pundi-pundi uang malah gamang.
Dalam persoalan tata niaga, misalnya, transaksi jual-beli nikel belum sepenuhnya berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel sesuai ketentuan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 dan Kepmen ESDM Nomor 2946 K/30/MEM/2017.
Demi roda bisnisnya tetap berjalan, adakalanya penambang menjual bijih nikel berdasarkan kesepakatan dari pabrik (user). Di luar ketentuan harga yang berlaku di HPM Nikel.
Persoalan lain, pelaksanaan kontrak penjualan bijih nikel berdasarkan Permen No.11 Tahun 2020 menyebutkan menggunakan sistem Free on Board (FoB). Kenyataannya, pihak pabrik menerapkan skema Cost, Insurance, and Freight (CIF), sehingga para penambang harus mengeluarkan kocek tambahan tongkang di pelabuhan bongkar.
Kemudian, masih terjadi potensi dispute pengujian nikel pada lokasi muat dan bongkar. Berdasarkan hasil witness Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA pada 2021, ditemukan perbedaan perlakuan pengambilan sampel di lokasi muat (belum diblending), dan di lokasi bongkar (sudah diblending) berpotensi terjadinya perbedaan hasil pengujian.
Disebutkan, untuk kriteria perbedaan kerapatan sampel di lokasi muat dan bongkar, terjadi perbedaan kerapatan perlakuan sampel (pada lokasi muat dan bongkar) berpengaruh terhadap bias hasil pengujian. Kesalahan yang disebabkan oleh teknik pengambilan sampel (sampling error) dapat berkurang sejalan penambahan banyak sampel (sesuai Metode Penarikan Sample secara statistik).
“Tim witness juga menemukan perbedaan (ketidakseragaman) pelaksanaan sampling dan preparasi yang dilakukan oleh surveyor serta ketidaksesuaian dengan acuan standar. Karena itu, diperlukan penyeragaman yang diatur dalam juknis yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Minerba,” ungkap Koordinator Pengujian Laboratorium dan Pengembangan Layanan, tekMIRA, Isyatun Rodliyah Isyatun.
Dilema lainnya, berdasarkan hasil penelitian Irene Lestari Sihombing dan Jance Murdjani Supit, dua mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua, mengungkap terjadinya penurunan produktivitas hasil pertambangan yang dialami sebuah perusahaan pertambangan nikel. Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan di INTAN Jurnal Penelitian Tambang Volume 3, Nomor 2, 2020.
Jurnal melansir bahwa perusahaan pertambangan itu menjual bijih nikel laterit yang sudah dicampur (blending) dengan kadar 1,8%. Perusahaan bekerjasama dengan salah satu kontraktor untuk melakukan proses pengapalan nikel menggunakan dua barge (tongkang), yaitu Bisai dan Seadragon.
Target produksi nikel ke barge Bisai sebesar 13.000 MT dalam tiga hari dan barge Seadragon sebesar 8.000 MT dalam dua hari. Dengan menggunakan 89 unit dump truck sebagai alat angkut, maka waktu kerja rata-rata memuat nikel untuk barge Bisai adalah 6,95 jam/hari dan barge Seadragon 4,92 jam/hari.
Berdasarkan hasil pengolahan data target produksi untuk tongkang Bisai sebesar 12.550.27 MT selama empat hari pengisian dan untuk tongkang Seadragon 7.528,64 MT untuk tiga hari pengisian, sehingga terjadi penurunan capaian produksi dari target yang telah ditetapkan. Karena, perusahaan pertambangan nikel itu perlu melakukan evaluasi alat angkut ke tongkang untuk mengetahui penyebab penurunan capaian proses pengangkutan ke tongkang serta menemukan solusi terhadap masalah tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka dievaluasi kapasitas angkut 19 MT, jumlah alat angkut 89 unit dan hasil yang didapatkan berdasarkan perhitungan efisiensi kerja Seadragoon 31%, dan cicle time rata-rata sebesar 0,50 jam, maka hasil perhitungan produksi alat angkut rata-rata 2.509,55MT/hari untuk satu dump truck.
Dari 50 unit dump truck yang digunakan, sebanyak 39 unit dump truck mengangkut 7.528,64 MT/hari, dianalisis berdasarkan perhitungan efisiensi kerja hingga memuat ore ke Bisai sekitar 43%, dan cicle time rata-rata sebesar 0,47 jam. Maka hasil perhitungan produksi alat angkut rata-rata adalah 3.137,57 MT/hari untuk satu dump truck. Untuk 50 unit dump truck, maka mampu mengangkut 12.550,27 MT/hari.
Hasil penelitian, kurang maksimalnya kinerja dan kondisi pengelolaannya karena faktor jarak angkut dan waktu standby yang banyak di bawah target produksi atau produksi alat angkut tidak mencapai target yang ditentukan. Dari hasil perhitungan kemampuan produksi alat angkut dapat dievaluasi produkstivitas dump truck adalah 63% untuk barging ke Tongkang Seadragoon dan 73% untuk barging ke Tongkang Bisai. Hasil produktivitas kurang dari 100% dikarenakan waktu standby cukup banyak.
Kasus di atas hanya sekelumit kendala yang masih dihadapi pelaku pertambangan nikel di sektor hulu dari beberapa persoalan dalam menjalankan roda bisnisnya. (Syarif)