NIKEL.CO.ID, 14 Februari 2022-Pemerintah China membukukan produksi stainless steel tahun 2021 mengalami penurunan sebesar 20% dibandingkan tahun 2020. Krisis listrik dan pandemik Covid-19 menjadi penyebab utama menurunnya produksi baja nirkarat di China.
“Penyebab lain, Pemerintah China saat ini sedang mengurangi emisi secara berkala,” kata Juan Harahap, Analis Riset dari Mirae Asset Sekuritas seperti dikutip di media.
Seperti diketahui, setelah dikeluarkan Persetujuan Paris (The Paris Agreement) negara-negara yang tergabung di PBB ikut menjaga dan mengawal reduksi emisi karbon dioksida di negaranya masing-masing, yang efektif berlaku pada 2020.
China, sebagai salah satu negara paling besar menghasilkan emisi karbon, sekitar 15% di dunia, “terpaksa” mengurangi produksi baja nirkarat. Produksi baja nirkarat dari China berkontribusi sebesar 39% dari kebutuhan baja nirkarat di pasar global.
China juga merupakan salah satu negara importir nikel terbesar di dunia untuk kebutuhan bahan baku baja nirkarat dan produk lainnya.
Namun, seiring semakin menurunnya wabah Covid-19, Juan memprediksi industri manufacturing serta baja nirkarat di China akan meningkat. Hal ini bisa dilihar dari aktivitas impor nikel dari negara-negara penyuplai nikel ke China.
“China merupakan kontributor terbesar dari aktivitas impor nikel global, dimana sebesar 31% produk nikel dari negara-negara lain diserap oleh China,” kata Juan.
Juan mengakui produksi nikel pada 2021 terjadi penurunan, lantaran pandemik Covid-19. Ketika wabah Covid-19 mulai mereda, pada 2022 ini permintaan nikel dari negara-negara produsen baja nirkarat semakin meningkat, seiring kembali menggeliatnya aktivitas industri.
Juan mengatakan, berdasarkan data Mirae Asset Sekuritas, pada 2021 terjadi defisit kebutuhan nikel global sebesar 47.000 ton nikel. Namun, tahun 2022 akan terjadi surplus nikel sebesar 20.000 ton nikel.
Keunggulan Baterai dari Nikel
Di Indonesia sendiri, sambung Juan, sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan buka-tutup ekspor nikel sejak 2014, kemudian distop kembali pada 2020, karena ingin meningkatkan value added bijih nikel melalui industri-industri mineral di dalam negeri. Bijih olahan nikel akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku baterai listrik untuk kendaraan listrik (electric vehicle) yang sedang dikembangkan Pemerintah Indonesia.
Menurut Juan, Pemerintah Indonesia juga melihat negara-negara, seperti China yang mempunyai investasi besar, berharap dapat bekerja sama dalam menanamkan investasinya untuk membangun industri pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Indonesia.
“Kalau kita lihat sekarang beberapa dari perusahaan global sudah mulai melakukan investasi terkait dengan insfrakstuktur buat electric vehicle di Indonesia. Jadi kita melihatnya overall sangat positif. Justru dengan adanya regulasi sejak 7 tahun lalu, hal ini menjadi continuity untuk perkembangan industri nikel di Indonesia,” Juan menjabarkan.
Pemerintah Indonesia, Juan menambahkan, menargetkan bahwa di 2024 akan bertambah sekitar 30 smelter untuk nikel pig iron (NPI), dimana di 2016 baru 19 smelter yang sudah beroperasional.
Juan mengutarakan Pemerintah Indonesia sangat ambisius untuk terus meningkatkan value added bijih nikel kelas 2, baik untuk kebutuhan bahan baku baja nirkarat maupun baterai listrik. Ia memperkirakan produksi nikel akan meningkat sampai 2 juta ton sampai tahun 2023.
Sebaliknya, masih menurut Juan, perkembangan dari nikel kelas 1 cukup pasif, dimana saat ini yang sudah berjalan sampai dengan 7 smelter untuk pembuatan bahan baku baterai mobil listrik.
Dirinya mengungkapkan, belakangan ini atau sejak tahun lalu banyak pakar atau orang-orang yang berkecimpung di dunia nikel membahas terkait dengan perkembangan dari electric vehicle. Dikatakan bahwa biaya produksi EV, sebesar 40% adalah berasal dari biaya produksi baterai listrik.
“Jadi,nikel itu sangat dibutuhkan untuk bahan baku komponen baterai listrik,” jelasnya.
Secara umum, disebutkan Juan, ada 5 komposisi bahan yang digunakan untuk baterai mobil listrik. Pertama, komposisi lithium, kobalt, dan oksida. Kedua, nikel, kobalt, dan mangan. Ketiga, nikel, kobalt, dan alumunium. Keempat, lithium, mangan, oksida. Dan kelima, lithium iron phosphate.
Menariknya, sergah Juan, bila melihat perkembangan di 2015 dan 2016, jenis-jenis baterai EV yang non- nikel sangat digemari sebagai benchmark baterai mobil listrik. Hal ini karena biaya produksinya relatif lebih murah dibandingkan produksi baterai listrik menggunakan nikel.
Namun, jika kita melihat tren sekarang ini, seiring dengan kebutuhan passangers yang ingin melaukan perjalanan jarak tempuh lebih jauh, khususnya para automaker, sudah banyak yang membuat baterai listrik dari nikel.
Hal ini, jelas Juan, dikarenakan sifat dasar dari nikel bisa menyimpan density (kepadatan/kerapatan-red) dan kekuatan energy bisa disimpan lebih lama di baterai. Sehingga kendaraan EV dapat berjalan lebih jauh dibandingkan yang tidak menggunakan baterai non-nikel.
Ia yakin, jika melihat fungsi nikel di baterai untuk mobil listrik memiliki fungsi yang lebih unggul dibandingkan baterai non-nikel, maka kebutuhan nikel untuk EV akan semakin meningkat. (Herkis/Syarif)