Beranda Berita Nasional Ramalan Devisit Cadangan Nikel Saprolit dan Urgensi Moratorium Smelter Saprolit

Ramalan Devisit Cadangan Nikel Saprolit dan Urgensi Moratorium Smelter Saprolit

3500
0

NIKEL.CO.ID, 6 JUNI 2023 – Indonesia saat ini memiliki jumlah tungku smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) sebanyak 126 unit yang tersebar di Sulawesi dan Maluku. Dengan kebutuhan suplai bijih nikel mencapai 82-130 juta wet metric ton (wmt) per tahun. Sebaliknya, smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang mengkonsumsi limonit lebih sedikit. Wacana moratorium smelter RKEF baru pun mencuat ke permukaan.  

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya nikel dengan kadar nikel lebih dari 1,7% atau saprolit mencapai 3,93 miliar ton, lebih rendah dibandingkan sumber daya bijih nikel kadar rendah atau limonit kurang dari 1,7% mencapai 4,33 miliar ton.

Saat ini pemerintah mulai mencermati perkembangan saprolit yang dari waktu ke waktu terus ditambang untuk bahan baku industri, sehingga semakin lama cadangannya pun semakin berkurang.

Hal ini harus diantisipasi secepat mungkin karena sudah terlalu banyak smelter RKEF yang memakan saprolit untuk diolah di antaranya menjadi NPI, ferronikel, dan nickel matte. Bila tidak, maka Indonesia dalam waktu beberapa tahun akan kehabisan cadangan saprolit. 

Dari data yang dikutip dalam laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia diperkirakan memiliki cadangan nikel sebanyak 21 juta metrik ton pada 2022. Jumlah itu setara dengan Australia pada periode tersebut. Ini artinya, Indonesia dan Australia masing-masing menyumbang 21% dari total cadangan nikel global sepanjang tahun lalu.

Tak hanya pemilik cadangan terbesar, Indonesia juga unggul sebagai produsen nikel terbesar di dunia pada 2022, yakni mencapai 1,6 juta ton. Di bawahnya, ada Filipina dan Rusia masing-masing 330 ribu dan 220 ribu metrik ton.

Atas hal tersebut, menjadi urgensi pemerintah untuk mengantisipasi dampak yang tidak diharapkan dengan tindakan yang mampu menjaga stabilitas cadangan nikel Saprolit. Sehingga muncul wacana untuk moratorium smelter RKEF, disebabkan antara lain, jumlah cadangan bijih saprolit lebih sedikit dibandingkan limonit. 

Menurut Praktisi Tambang dan Nikel Ikatan Metalurgi ITB, Arif S. Tiammar, rencana pembatasan smelter nikel oleh pemerintah merupakan sesuatu yang patut didukung. Kalau tidak dibatasi, cadangan bijih nikel saprolit Indonesia hanya cukup untuk tujuh tahun ke depan.

“Nggak heran Kementerian ESDM dengan kondisi seperti ini jika dibiarkan terus-terusan ketahanan cadangan kita hanya tujuh tahun ke depan, karena RKEF yang saat ini operasi hanya memakan saprolit yang kadar tinggi,” kata Arif seperti dikutip.

Menurutnya, sudah ada pabrik High Pressure Acid Leaching (HPAL), yaitu Harita Nickel yang menyerap bijih nikel kadar rendah antara 1,4% dan 1,5% (nikel limonit) sebesar 5 juta ton. Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan serapan 82 juta ton per tahun nikel saprolit.

“Nikel limonit relatif kecil, saya sendiri setuju saja pemerintah rem pertumbuhan RKEF smelter jika yang bersangkutan hanya produksi FeNi dan NPI,” ungkapnya.

Namun dia berpendapat, untuk smelter yang sedang konstruksi bisa terus dilanjutkan pembangunannya. Lalu, pemerintah sebaiknya mengatur untuk mengganti serapan bijih nikel yang mulanya saprolit menjadi limonit.

“Tergantung perusahaan mau nggak ganti dari saprolit ke limonit,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah harus mengupayakan pengaturan pabrik smelter untuk mendorong smelter RKEF yang selama ini memproduksi NPI dan FeNi untuk memproduksi nikel sulfat.

“Ketiga, bisa saja RKEF yang selama ini NPI, FeNi dijadikan nikel sulfat untuk memproduksi baterai,” paparnya.

Pertimbangan Moratorium

Ada tiga alasan yang membuat pemerintah harus melakukan langkah pembatasan smelter nikel baru atau moratorium, yaitu peningkatan nilai tambah, amankan bahan baku untuk pabrik katoda sel baterai, serta menjaga ketahanan cadangan bijih nikel.

Sejalan dengan pemerintah maupun pengamat, Anggota Komisi Vll DPR RI, Mulyanto juga menyepakati usulan moratorium tersebut agar Indonesia semakin bergerak ke industri yang semakin hilir, terlebih bila pembangunan smelter nikel sulfat hingga baterai terus didorong.

“Saya setuju program ini, kita benar-benar bergerak semakin ke hilir,” tutur Mulyanto. 

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan  Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli dan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengusulkan kepada pemerintah agar dilakukan moratorium pembangunan pabrik pengolahan saprolit. Mereka melihat jumlah cadangan nikel kadar tinggi yang hanya 30% dibandingkan limonit sebesar 70%, dikhawatirkan mengganggu ketahanan cadangan nikel di Indonesia.

Rizal Kasli berpendapat, nikel Indonesia berjenis laterit yang sebagian besar terdapat di Pulau Sulawesi dan Maluku. Nikel laterit terdapat dua jenis, yakni kadar tinggi atau saprolit dan kadar rendah atau limonit.

Untuk nikel saprolit diolah pabrik pirometalurgi yang sebagian besar produk akhirnya berupa nikel kelas dua, seperti ferronickel, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte untuk stainless steel.

Sedangkan limonit diolah pabrik hidrometalurgi yang  menghasilkan Mixed Hydroxide Precipiate (MHP), yang sekarang dijadikan sebagai bahan baku baterai listrik. 

Lebih lanjut, dia menuturkan, investasi asing di industri nikel sejak 2017-2022 untuk sektor hulu dan hilir memiliki perbedaan yang signifikan. Di sektor hulu investasi asing pada Kuartal I tahun 2022 sebesar US$ 56 miliar, dan di sektor hilir US$ 1,962 miliar. 

Investasi di sektor hulu umumnya untuk kegiatan eksplorasi ore nikel. Sedangkan investasi di hilir untuk pengolahan ferronickel, NPI, dan nickel matter, dan pembangunan smelter.

Namun, Rizal Kasli, menguraikan, jumlah pabrik pirometalurgi saat ini lebih banyak dibandingkan pabrik hidrometalurgi, sementara jumlah saprolit minoritas dibandingkan limonit. 

Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah harus melakukan memoratorium investasi untuk pembangunan smelter dengan teknologi pabrik pirometalurgi. 

“Pun jika ada investasi baru, bisa untuk membangun pabrik hidrometalurgi,” pungkasnya. 

Untuk informasi, saat ini ada badan usaha yang masih tahap perencanaan, masih dalam proses pengurusan perizinan, pembebasan lahan atau syarat lainnya sebanyak 59 badan usaha.

Badan usaha ini sudah terdaftar dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan Kementerian Investasi/BKPM,  totalnya ada 136 badan usaha pengolahan nikel. 

Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyebutkan, sebanyak 136 badan usaha pengelolaan nikel ini masing-masing terdapat di Sulawesi Selatan 5 badan usaha, Sulawesi Tengah 65 badan usaha, Sulawesi Tenggara 28 badan usaha, Maluku Utara 25 badan usaha, Papua Barat 2 badan usaha, Kalimantan Selatan 1 badan usaha, Banten 5 badan usaha, dan Jawa Timur 1 badan usaha pengolahan nikel.

Ke depan, menurutnya, jumlah pabrik pengolahan nikel ini akan bertambah, karena ada beberapa perusahaan yang saat ini masih mengurus proses perizinan. Namun sebaliknya, jumlah Izin Usaha Penambangan (IUP) nikel justru semakin berkurang setelah ada SK pencabutan 2.078 IUP oleh pemerintah, yang dikhawatirkan akan mengganggu suplai nikel yang dibutuhkan 136 pabrik pengolahan nikel tersebut.

Hal ini menjadi kekhawatiran untuk pasokan suplai ore nikel jangan sampai  berkurang dari hulu untuk sektor hilir. Karena bila hal itu terjadi terpaksa pelaku hilir akan mengimpor ore nikel. 

Meidy menyampaikan pemikirannya, saat ini sudah ada 38 badan usaha pirometalurgi yang melakukan kegiatan usaha pengolahan untuk produk NPI, ferronickel, dan nickel matte. Sedangkan pabrik hidrometalurgi sudah beroperasi sebanyak 4 badan usaha, 5 badan usaha dalam tahap konstruksi, dan 1 badan usaha dalam tahap perencanaan. Jadi, jumlahnya 10 badan usaha. Sementara, jika 136 pabrik pirometalurgi semuanya sudah beroperasi, diperkirakan membutuhkan  lebih dari 413.764.000 ton saprolit.

“Bisa dibayangkan, untuk satu pabrik saja minimal menggunakan 4 line tungku pengolahan nikel. Bahkan sudah ada yang menggunakan 6, 8, 18 sampai 30 line tungku. Jika satu pabrik menggunakan 4 line dengan kapasitas 33.000 KVA, meskipun sudah ada yang menggunakan kapasitas 42.000 dan 54.000 KVA, per line diperkirakan membutuhkan 821.000 ton bijih nikel per tahun. Sehingga 136 pabrik olahan itu membutuhkan lebih dari 400 juta,” urainya. 

Dari persoalan pengolahan nikel saprolit tersebut, Meidy mengusulkan agar dilakukan moratorium pengolahan nikel kelas 2.

“Jika masuk investasi, sebaiknya digunakan untuk pabrik pengolahan nikel menjadi produk nikel kelas 1 atau pabrik yang memproduksi barang jadi,” usulnya. 

Dia menegaskan, bila nikel diolah menjadi produk nikel kelas 1 atau menjadi barang jadi, maka nilai tambahnya semakin tinggi. Dan akan membantu menopang pendapatan negara.

Pemerintah di 2023 melalui Kementerian ESDM mempunyai alasan untuk mendorong diterbitkannya moratorium smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel Indonesia. 

Hal ini disampaikan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, mengenai alasan utama pemerintah menginginkan moratorium smelter nikel adalah untuk mengantisipasi habisnya pasokan bijih nikel di dalam negeri.

“Kalau smelter berdiri dia perlu bijih, kalau bijih kita habis gimana, nggak bisa jalan smelternya. Itu pertimbangan pertama,” kata Irwandy pada acara Workshop Mining for Journalist, Cisarua, Bogor, diikuti nikel.co.id, pada Februari 2023 lalu.

Nikel memiliki dua jenis kandungan, yaitu nikel kadar tinggi (Saprolit) dan nikel berkadar rendah (Limonit). Untuk cadangan saprolit di Indonesia terhitung  sebanyak 2,7 miliar ton dan bila konsumsi per tahun sebanyak 450 juta maka cadangan nikel akan terkuras habis dalam beberapa tahun.

“Cadangan lmonit itu kurang lebih 2,7 miliar ton masih ada. Yang Saprolit hampir sama, tapi kalau dimakan 450 juta per tahun bagaimana, langsung jebol itu,” perkiraan dia. 

Oleh sebab itu, moratorium sudah menjadi keharusan untuk mengatur batas konsumsi nikel saprolit tersebut. 

Nantinya, kata Irwandy, pembatasan ini akan berlaku untuk pembangunan smelter. Pengusaha smelter bisa tidak mendapat tax holiday, bea keluar, dan sebagainya. Tetapi bagaimana mekanisme pembatasan tersebut dari pemerintah, saat ini, menurutnya belum bisa dipastikan. 

Lebih lanjut, dia memaparkan, agar pabrik smelter yang sudah terbangun dan beroperasi tetap mendapat pasokan yang cukup maka harus ada pembatasan untuk pembangunan smelter baru.

“Pembatasannya bermacam-macam, kita juga belum tahu karena kebijakannya belum keluar,” pungkasnya. (Shiddiq)