NIKEL.CO.ID – Direktur Eksekutif Center on Reforms Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan negara berpotensi merugi hingga Rp400 miliar per tahun akibat penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah. Kerugian ini khususnya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam bentuk royalti.
Faisal menjelaskan hasil pengukuran pembeli atau pengusaha fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di hilir terkadang menetapkan kadar bijih nikel lebih rendah dari penambang atau penjual. Ia mencontohkan kasus di Morowali, Sulawesi Tengah.
“Kadar ditetapkan 1,87 persen, nah investor di smelter menetapkan 1,5 persen. Ini perbedaannya jauh dari 1,87 persen ke 1,5 persen,” kata Faisal.
Faisal menjelaskan Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel pada 2020. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tak mencatat ada ekspor bijih nikel mulai 2020.
Namun, pemerintah China justru mencatat negaranya masih mengimpor bijih nikel dari Indonesia pada 2020. Data itu tercatat di General Customs Administration of China (GCAC).
“GCAC pada 2020 mencatat masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, yakni US$193,6 juta atau Rp2,8 triliun, lebih tinggi dari 2019,” papar Faisal.
Sebagai informasi, pemerintah mulai melarang ekspor bijih nikel pada 2 Januari 2020. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sumber: CNN Indonesia