
JAKARTA, NIKEL.CO.ID

Nikel merupakan salah satu komoditas yang tengah mendunia. Pemicunya, saat ini negara negara di dunia ini sedang fokus terhadap masalah lingkungan. Dan, kendaraan bertenaga bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu “tersangka” dalam memberikan efek sangat tinggi terhadap perubahan lingkungan saat ini.
Demikian diungkapkan Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, belum lama ini. Ia menambahkan, hikmah dari adanya pandemi Covid-19 ini adalah negara-negara di dunia ini mulai giat melakukan transformasi dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Momen ini cukup menarik. Pas kebetulan Indonesia adalah salah satu negara pengekspor nikel terbesar di dunia, disusul Filipina, kemudian Rusia. Cadangan nikel Indonesia memang melimpah. Wajar saja jika kemudian banyak negara ingin menguasai nikel dari negara ini,” kata Ibrahim Assuaibi yang juga pengamat keuangan ini.
Namun, rupanya Indonesia tidak tinggal diam. Presiden Jokowi tidak ingin mengulangi kesalahan pendahulunya ketika terjadi booming minyak. Kali ini Indonesia, awal 2021, menghentikan ekspor nikel mentah. Salah satu bahan utama pembuatan baterai untuk mobil listrik ini harus diolah menjadi, minimal, barang setengah jadi atau barang jadi, baru kemudian diekspor, sehingga mempunyai nilai tambah yang tinggi.
“Tindakan penghentian ekspor nikel mentah itu membuat negara-negara lain marah, bahkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) mengajukan perselisihan ini ke Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO),” ujar Ibrahim.
Hal tersebut, ia melanjutkan, cukup menarik. Karena apa? Pertama, mobil listrik itu berada di Eropa, bahan bakunya dari Indonesia. Pemerintah, tepatnya Presiden Jokowi, saat ini begitu kencang ngegas untuk menutup keran ekspor nikel. Indonesia mempunyai sumber daya nikel cukup besar, terutama di Pulau Sulawesi, dan menjadi rebutan.
Indonesia sekarang ini sedang membangun beberapa pabrik pemurnian (smelter) nikel di Sulawesi. Jadi, tujuannya untuk menghasilkan dari nikel, dengan serangkaian proses, kemudian menjadi material katoda, menjadi bahan baku baterai, hingga menjadi baterai litium (cell level). Baterai inilah yang menjadi sumber tenaga kendaraan listrik yang sedang dibuat di Eropa dan Tiongkok.
Dengan dituutupnya keran ekspor nikel mentah oleh Indonesia, tentu saja UE kebakaran jenggot. Bagaimana tidak? Tanpa bahan baku nikel mentah, smelter-smelter di sana terancam gulung tikar. Dan, akan terjadi PHK massal yang melahirkan ratusan ribu, bahkan lebih, pengangguran. Jadi, efek sosialnya berantai.
Dibandingkan dengan UE, Tiongkok mengambil langkah kompromistis. Negeri Tirai Bambu ini melakukan aliansi strategis dalam bidang ekonomi dengan Indonesia.
“Sebenarnya, Tiongkok memiliki nikel cukup besar, tapi sampai saat ini nikel di Tiongkok belum dieksplorasi. Artinya, belum diapa-apakan. Langkah strategisnya, mereka melakukan kerja sama dengan Indonesia untuk membangun smelter nikel di Tanah Air,” tutur Ibrahim.
Ia melanjutkan, di sisi lain kita juga tahu bahwa eskpor nikel Indonesia selama ini, berdasarkan data tahun 2019, sebesar 800 ribu ton, Filipina ekspornya 870ribu ton, dan Rusia 270 ribu ton. Jika kita melihat ke belakang, saat terjadi perang Ukraina-Rusia masalah pencaplokan Crimea pada 2016-2017, harga nikel mengalami kenaikan cukup signifikan. Saat perang usai, harga nikel kembali jatuh.
“Ini pengaruh masalah biotik dan saat ini nikel lagi aman-aman saja. Kenapa? Filipina hanya mengekspor nikel mentah. Rusia sudah mengekspor bahan baku. Indonesia pun tadinya hanya mengekspor bahan mentah kemudian akan berubah menjadi bahan baku. Indonesia membangun smelter untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Karena, kalau hanya mengekspor bahan mentah, dalam waktu 5-10 tahun nikel akan habis,” pungkas Ibrahim. (Rusdi/SN/Mks)