NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan, penurunan harga nikel dunia sepanjang 2023 – 2024 disebabkan oversupply nikel Indonesia yang mengakibatkan penutupan sementara beberapa tambang di luar negeri.
Hal ini disampaikannya dalam bincang pagi di MetroTV di Zona Bisnis yang bertema “Peluang Dan Tantangan Industri Nikel 2024” bahwa harga nikel saat ini terus menurun bahkan terjun bebas sepanjang 2023 hingga awal 2024 dan sempat menyentuh level terendah sejak April 2022.
“Turunnya harga nikel salah satunya dinilai karena oversupply pasokan nikel Indonesia bahkan beberapa produsen Australia sampai menutup sementara tambang mereka karena penurunan harga nikel yang berkepanjangan,” ungkap Meidy sapaan akrabnya, Rabu (24/1/2024).
Menurutnya, penurunan harga nikel sejak April 2023 hingga 24 Januari 2024 ini terus merosot jauh ke bawah bukan ke atas dan harapan para pengusaha tambang harga nikel kedepan bisa sama dengan tahun lalu sebesar US$20.000 per ton atau US$80.000 per ton.
“Tapi betul banget, sepanjang tahun kemarin sampai hari ini nikel menembus di harga US$16.000 per ton. Itu sangat berdampak kepada kapasitas dan efisiensi efektif produksi nikel Indonesia,” ujarnya.
“Kalau harga nikel makin turun makin turun, tentu seluruh pengusaha bukan hanya Indonesia seluruh pengussaha di dunia, negara-negara penghasil nikel akan merasakan dampak yang sama seperti apa yang dirasakan Indonesia saat ini,” sambungnya.
Dia menuturkan, untuk harga nikel saat ini yang dapat memberikan rasa aman dalam melakukan bisnis usaha agar bisa terus berjalan maka harus diperhitungkan dari segi cost production, faktor-faktor penentu lain termasuk kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap negara, masyarakat dan lingkungan.
“Faktor aman kita, kalau kita berbicara nikel sebenarnya di angka US$18.000 per ton sampai US$20.000 per ton. Itupun hitung-hitungan dengan rasio keuntungan yang mungkin sekitar diatas 20% hingga 30%. US$18.000 per ton dan US$16.000 per ton saja kita masih pada posisi bertahan atau survive,” tuturnya.
Ia juga memaparkan, penyebab oversupply di Indonesia dilihat dari jumlah banyaknya smelter dan banyaknya produksi dengan kebutuhan yang ada dilatarbelakangi keberhasilan hilirisasi nikel. Hal ini sangat membanggakan bangsa Indonseia karena sukses melakukan hilirisasi nikel di sektor hilir. Bahkan hingga akhir 2023, banyak pabrik pengolahan nikel yang sudah berdiri dan beroperasi serta berproduksi.
“Yang berproduksi itu ada sebanyak 81 perusahaan. Jangan dilihat kawasannya tetapi 81 perusahaan yang mengolah sebanyak 247 line furnace. Kalau kami berhitung faktornya adalah kekhawatiran kami mengenai cadangan, kembali lagi cadangan, Indonesia nomor satu (pemilik cadangan nikel terbanyak di dunia). Tapi kalau nikel dimakan-makan terus ini nikel tidak beranak lagi, mau tidak mau nikel akan makin habis,” paparnya.
Meidy membeberkan, hal inilah yang mengkhawatirkan ditambah dengan adanya pabrik-pabrik baru yang berdiri semakin banyak. Dengan hilirisasi nikel yang sangat jor-joran ini maka perlu memperhatikan aspek lain, seperti lingkungan, yaitu Environment Social dan Governance (ESG) serta Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
“Dan yang paling penting lagi akhir-ahir ini banyak terjadi kecelakaan-kecelakaan dibeberapa pabrik pengolahan. Ini yang menjadi target kita, lingkungan dan kecelakaan. Ini yang sangat penting sekali menjadi konsentrasi Pemerintah Indonesia,” pungkasnya. (Shiddiq)