Beranda Berita Nasional Keunggulan dan Kekurangan Baterai  EV Seri NMC dengan LFP

Keunggulan dan Kekurangan Baterai  EV Seri NMC dengan LFP

5679
0
Komponen sel baterai yang tersusun dalam baterai pack

NIKEL.CO.ID, 24 Januari 2023-Pemerintah menargetkan bisa memproduksi baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia pada 2024.  Indonesia memiliki banyak nikel untuk kebutuhan bahan baku baterai EV. Lantas, apa saja keunggulan baterai berbasis nikel, mangan, cobalt (NMC) dengan berbasis lithium, ferro, phospate (LFP)?   

Seusai mengikuti rapat terbatas dengan para menteri lainnya yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat lalu, Menteri Investasi/ Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menyampaikan  keterangan kepada awak media. Salah satunya mengenai dukungan pemerintah terhadap pembangunan ekosistem kendaraan listrik.

Menteri Bahlil mengatakan, pemerintah menargetkan bisa memproduksi baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia mulai tahun 2024. Produksi baterai kendaraan listrik bakal mulai berjalan pada semester I tahun 2024 yang dibangun oleh LG di Karawang, Bekasi.

“Konstruksi ekosistem kendaraan listrik dari hulu sampai ke hilir antara LG Electronics dan Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) akan dimulai pada tahun ini,” kata Bahlil saat memberikan keterangan.

Ia menyampaikan, pemerintah sudah membuat beberapa formulasi pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik.  Di antaranya formula pemanis (sweetener) untuk membangun industri kendaraan listrik yang kompetitif.

“Ke depan yang kita bangun itu adalah ekosistem pembangunan EV dan motor itu ranah penciptaan lapangan pekerjaan,” ujarnya.

Jika ditelisik, di Indonesia sudah ada produsen baterai kendaraan listrik, yaitu PT International Chemical Industry atau PT Intercallin. Selain baterai, perusahaan yang berdiri sejak 1959 di Indonesia ini juga memproduksi senter dengan merek ABC.  

Di pertengahan 2022, PT International Chemical Industry telah memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik. EV battery yang diproduksi berbasis lithium, ferro, dan phospate (LFP). Lantaran belum ada pabrik yang memproduksi bahan baku untuk sel baterai lithium, perusahaan masih mengimpor material dari luar negeri.

Menurut Lithium Marketing Director ABC Battery, Hermawan Wijaya, kebutuhan sel baterai lithium di Indonesia cukup banyak. Pasokan material lithium masih impor dari produsen luar negeri.

Hermawan mengatakan, satu sel baterai ABC Lithium mempunyai daya voltase 3,2 volt. Satu sel baterai itu nantinya disusun dalam baterai pack untuk masing-masing jenis kendaraan listrik. Jika satu baterai pack untuk satu unit kendaraan dayanya 48 volt, maka akan diserikan 15 sel baterai . Jika dayanya 480 volt, maka akan diserikan 380 sel baterai.

“Teknologinya ada di packer. Sementara selnya sama, tidak akan beda, daya satu sel baterai 3,2 volt,” kata Hermawan kepada Nikel.co.id, belum lama ini.

Baterai ABC Lithium yang diproduksi PT International Chemical Industry  masih berbasis LFP. Jadi, berbasis bijih besi. Materialnya pun banyak di Indonesia.

Perusahaan, kata Hermawan, berencana akan memproduksi baterai berbasis nikel. Salah satunya seri NMC (nikel, mangan, cobalt).

“Kita tinggal bikin adonannya saja. Mau adonannya berbasis iron, kita akan beli prekursornya dari iron. Jika berbasis nikel, kita buat adonannya dari material nikel, mangan, dan cobalt, dan kita akan beli prekusornya dari material nikel, mangan, dan cobalt,” tuturnya.

Secara permesinan, industri manufaktur PT International Chemical Energy sudah siap. Mesin yang digunakan untuk membuat adonan material berbasis nikel atau iron sama saja, hanya campuran adonannya berbeda.

Keunggulan dan Kelemahan

Hermawan mengungkap, perbandingan keunggulan dan kelemahan baterai berbasis iron dan nikel. Keduanya tidak ada yang sempurna. Masing-masing ada keunggulan dan kekurangan.

Ia mencontohkan dari safety, lebih unggul baterai berbasis iron, karena tidak mudah terbakar. Sedangkan baterai berbasis nikel, seperti seri NMC agak mudah terbakar. Perbandingan itu dapat dilihat ketika baterai sedang dicas.

Namun, menurut Hermawan, mudah panasnya baterai berbasis nikel ketika dicas bisa dibilang keunggulan dan bisa pula disebut kekurangan. Tergantung dari perannya. Jika ingin lebih cepat panas, bisa disebut baterai NMC menjadi unggul.

“Saya belum bisa menilai baterai berbasis nikel lebih unggul atau lebih jelek. Tapi, ini lah perbedaannya,” imbuhnya.

Berikutnya masalah umur pakai baterai. Diutarakan Hermawan, jika menggunakan baterai berbasis iron, masa pemakaiannya bisa dua kali lipat dibandingkan baterai berbasis nikel. Karena, umur pakai baterai nikel lebih pendek, maka  energy density-nya jauh lebih tinggi. Artinya, dimensi dan berat atau volumenya agak lebih berat.

Bicara kebutuhan baterai di dunia, dicontohkan Hermawan, di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea, mereka lebih banyak menggunakan baterai lithium berbasis nikel. Tapi di China, kendaraannya cenderung menggunakan baterai berbasis ferro. Kebutuhan baterai lithium di China jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan baterai berbasis nikel di dunia.

“Sebenarnya ferro terbesar, walaupun hanya dibutuhkan di satu negara, sementara nikel dibutuhkan banyak negara.  Namun, penggunaan ferro atau nikel, tergantung aplikator dan pengguna kendaraan tersebut,” tukasnya.

Hermawan menepis anggapan kalangan umum yang menyatakan harga satu unit kendaraan motor listrik lebih mahal dibandingkan harga motor berbasis BBM dengan seri yang sama.

Di kendaraan listrik, komposisi baterai bisa mencapai separuh dari harga satu unit kendaraan. Jadi, hanya satu item dari baterai pack sudah mempengaruhi harga dari satu unit kendaraan. Sedangkan motor konvensional, yang mempengaruhi harga dari kendaraan tersebut dari engine-nya.

Karena itu, sarannya, dibutuhkan keahlian untuk men-develop baterai sedemikian rupa, sehingga mencapai harga yang kompetitif. Atau ekonomi rakyatnya yang ditingkatkan. Karena, secara harga untuk di negara-negara seperti Jepang, Taiwan, dan China, harga satu unit kendaraan roda dua bagi mereka normal-normal saja. Masalahnya, UMR pekerja Indonesia perbandingannya bisa sepuluh atau dua puluh di bawah UMR para pekerja di negara-negara itu.

“Kita bisa lihat juga dari harga BBM dan harga listrik.  Jika harga BBM mahal, mereka cenderung mengganti kendaraannya ke electric. Tapi, jika harga listrik lebih mahal, minat daya beli kendaraan listrik akan berkurang,” katanya. (Syarif)